33 | [೫]

14.3K 2.7K 118
                                    

Ki Gana terkekeh geli. Gadis itu memekik kegirangan setelah turun dari kapal. Melompat heboh seperti gadis kecil, dia lupa jika umurnya benar-benar sudah bertambah. Beberapa awak kapal melongo dengan tingkah acak Laras. Menghembuskan napas; menengadah pada langit Majapahit. Dia mengangkat penyangga lukisan dan menjinjing kanvas, kemudian mulai berjalan mengikuti rombongan seniman yang sudah berlalu. Laras akhirnya pulang setelah bertahun-tahun lamanya mengarungi lautan.

"Mari, Ndoro, Maharani dan Yang Mulia Adityawarman sudah menunggu."

Dari jarak yang cukup dekat, seorang pengawal kerajaan itu berujar. Laras hanya mengangguk, tanpa berpikir dua kali akan siapa sebenarnya yang pria itu sebut dengan 'Maharani'. Saraf-saraf tubuhnya hanya terlalu bersemangat untuk menitahkan kedua kakinya berayun sangat cepat menyusul para seniman yang sudah berada jauh di depan. Tak rela jika pria-pria itu yang akan diberi jamahan oleh Raja Jayanegara pertama kali.

Namun, pemandangan baru yang terasa familiar mengubahkan garis muka Laras. Setelah melintasi gapura selatan, cahaya pendar pada matanya menjadi tak berwarna. Suara riuh rendah menjejal pada sepasang telinganya yang terbuka. Kedua netranya melihat saban orang yang berlalu lalang—dua ekor sapi menarik gerobak, dan beberapa pria membawa karung goni yang padat. Ini déjà vu.

Ini benar gapura selatan, bukan?

"Larasati."

Seorang wanita bermahkota di hadapannya dikelilingi dayang, di belakangnya parade pengawal bertombak tajam mendesak hamparan tanah. Sepersekon keduanya beradu pandang, Laras menganga sebelum menutup mulutnya penuh keterkejutan. Sebegitu lamanya dia pergi, hingga terlihat pangling dengan figur dewasa seorang Gitarja. Ah, apakah Gitarjalah yang pengawal tadi maksud dengan Maharani? Jadi, Jayanegara sudah menurunkan takhtanya?

"Y-yang Mulia Gitarja?" Gadis itu tersenyum lebar, tak menyangka bila wanita yang terlihat seperti berlian di hadapannya benar-benar Gitarja. "Selamat atas penobatan Anda."

Menunduk hormat—semua seniman yang baru saja sampai juga melakukan hal yang sama sebelum para pengawal mengantar mereka untuk pergi ke keraton untuk upacara penyambutan. Terkecuali, Adityawarman dan Laras yang masih ingin tinggal. Juga, sepertinya Gitarja masih ingin mempertanggung jawabkan suatu hal.

Pria yang menggelung rambutnya rapi itu menengahi keduanya, berdiri di antara Laras dan Gitarja yang menjadi tak banyak bicara. Pun, kembali sedikit terkejut, Laras terpukau dengan bingkaian wajah matang milik Adityawarman yang kian menegas. Jambang yang dimiliki pria itu kian menajamkan auranya sebagai seorang pria dewasa.

"Bagaimana perjalananmu, perompak?" Timpal Adityawarman dengan sebuah senyum tipis yang teriris.

Laras terkekeh. "Tentu saja menyenangkan, Kapten!"

Tanpa diberi komando, Laras menyapukan matanya pada sekitar. Keberadaan Adityawarman seharusnya sudah menjadi tanda jika Jayanegara juga pasti tak jauh dari jangkauan. Dengan tubuh-nya yang tegap dan tinggi, pria berdarah Melayu itu pasti mudah untuk dikenali. Kilatannya yang nyalang terus menjejal ke setiap kerumunan orang-orang yang berdesak dengan udara, mencoba terus mencari sosok pria berambut hitam bermata kelam. 

Namun, yang didapatinya adalah nihil.

Mengerjap-ngerjapkan matanya lugu, Laras berbisik pada Adityawarman, "Yang Mulia, ke mana Kangmas Jayanegara?"

Bukannya menyahut, bibirnya malah terkatup seraya melempar pandang ke arah Gitarja. Terdiam sejurus dengan sejuta penyesalan membuat Laras kontak menautkan alisnya heran. Dia kini terlihat seperti orang bodoh yang hanya menghabiskan waktu untuk tersenyum sendirian hingga pipinya terasa sedikit pegal.

"Ada apa, Yang Mulia?"

Matanya kembali bersirobok dengan sepasang manik Gitarja, hingga wanita itu menitihkan air mata, "Maafkan aku, Larasati. Aku tidak bisa menepati janjiku padamu. Aku tidak pantas menerima mahkota dan gelarku."

Sebuah garis spontan terbentuk di antara kedua alis Laras yang menukik. "Apa maksud Yang Mulia? Anda sangat pantas mendapatkan kehormatan itu. Prabu Jayanegara sendiri yang memberikannya, bukan?"

"Laras," Adityawarman menyela.

Kepala Laras menyerong, masih membalas tatapan pria itu dengan binar matanya yang lugu. "Hamba, Yang Mulia?"

"Apakah kau tahu sekarang gapura ini bukan lagi bernama gapura selatan?"

Laras menggelengkan kepala, kemudian membalikkan badanya ke arah di mana gapura itu berdiri cukup jauh di sana. "Apakah sudah dialih fungsikan, Yang Mulia?"

Dengan banyak keraguan, Adityawarman menggeleng kepala. Mengumpulkan keberanian sebelum mulutnya mampu terbuka untuk menjawab Laras. Binar mata gadis itu yang selalu menantikan keberadaan Jayanegara benar-benar menyayat hati Adityawarman. Senyum-nya yang tak surut seharusnya selalu menggantung apik seperti itu. Ia takut, jika kejujurannya akan menghancurkan keindahan sukacita Laras. Ia merasa berdosa.

"Sekarang, gapura itu dinamakan Candi Bajang Ratu, Laras. Candi itu dipersembahkan untuk memperingati wafatnnya Kanda Jayanegara."

Seketika senyumnya memudar. Bibir tergigit penuh penekanan, tangannya gemetar dengan penyesalan. Sudah tahu jika takdir dalam sejarah yang tercatat tak dapat dirubah, namun, Laras tetap saja mengingkari nuraninya sendiri. Tidak. Ini tidak benar. Seharusnya Laras masih bisa menghabiskan sisa waktu sebelum kematian dalam sejarah akan terjadi. Tidak. Pararaton sedang menuliskan sejarah yang salah.

"Kanda Jayanegara sudah tiada ..." ucapan Adityawarman yang menggantung membuat Laras meremas jaritnya. "... Satu tahun yang lalu."

Tubuhnya merosot dengan bahu yang nyaris runtuh. Adityawarman sontak menahan tubuh Laras yang sudah terduduk di tanah, nyaris ambruk karena kaki yang lemas. Ucapannya itu berhasil membius lutut Laras hingga gadis itu tak bisa lagi merasakan tulang-tulangnya sendiri. Ini semua salah Laras.

"Kangmasku ..." Menatap kosong, tak ada kilatan apapun dalam sepasang manik jernih Laras. "... Kenapa tak berpamitan?"

Salah Laras. Semuanya adalah salah Laras. Dia tak seharusnya pergi untuk mengikuti ekspedisi, dia tak seharusnya egois dengan impiannya sendiri, dia tak seharusnya meninggalkan Jayanegara seorang diri, dia bahkan tak seharusnya membiarkan sembarang tabib masuk untuk mengobati. Janjinya untuk menemani pria itu di saat-saat terakhir-nya adalah bohong. Kebohongan besar yang membutakan batin. Gadis bodoh.

"Kangmasku sendirian, Yang Mulia. Ia sendirian."

Nada setengah berbisik dengan tangisan yang bergetar benar-benar menyakiti kedua liang pendengaran Adityawarman. Isakan yang tertahan dalam pelukan pria itu membuat suara Laras terdengar begitu pilu, menyayat kewarasan. Adityawarman sendiri tak bisa pula untuk berlagak seakan ia baik-baik saja. Sudah satu tahun berselang, namun, ia juga masih belum rela untuk melepaskan Kakandanya. Adityawarman tak sekuat yang Laras kira, ia juga lemah tanpa sosok Jayanegara.

Tak bisa berkata apa-apa lagi, Adityawarman perlahan melepas pelukannya. Ia terduduk di depan Laras dengan menekuk kedua kakinya ke belakang. Dirinya bersimpuh. Panglima Majapahit itu benar-benar merendahkan tubuhnya di hadapan seorang gadis yang Jayanegara cintai.

"Dengar, Laras,"

Kedua tangan Adityawarman meraih jemari Laras yang gemetaran, "Aku pun belum bisa menerima. Namun, aku benar-benar harus mengerti jika Kanda Jayanegaraku sudah tiada."

Sesenggukan, dadanya kembang kempis tak karuan. Terpisah dengan cara yang pahit memekkakan kerongkongan, Laras tak menyangka bila kehidupan masa lalunya sekejam ini. Bagaimana bisa di antara para orang-orang beruntung, Jayanegaralah yang harus menjadi satu-satunya pria paling tidak beruntung? Kenapa takdir terlalu membenci seorang lelaki rapuh yang hanya ingin dicintai?

"Jika suatu saat nanti kau akan terlahir kembali, berjanjilah kau akan menemui Kakandaku. Tantanglah takdir untuk selalu mengikatmu pada-nya. Kanda Jayanegara pasti merindukanmu."

Dia tak akan pernah bisa menerima semua ini begitu saja. Dan, dia pun sukar untuk mencoba menerima kematian Jayanegara sampai kapanpun juga. Namun, hanya berusaha menganggukkan kepala atas janjinya pada Adityawarman, dan dirinya sendiri—jika, sampai kapanpun, dia akan tetap kembali pada sang Raja. Di kehidupan selanjutnya, ataupun di semesta yang berbeda.

Laras pasti akan kembali pada Jayanegara. 




──Ⲋꫀᥒjᥲ ᥙᥒtᥙk Ꭻᥲᥡᥲᥒꫀgᥲɾᥲ──

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now