02 | [೫]

35.6K 4.9K 133
                                    

Kicauan burung menggelitik liang pendengaran. Seruan pendatang lamat-lamat terdengar berpadu dengan embusan angin, menjadi lekukan suasana di tengah sinar terik mentari yang menusuk lapisan epidermis kulit. Tangannya beringsut menyentuh outer berwarna merah maroon yang membalut sebuah kaos viscose dan cut boot jeans, sedikit merapikan penampilannya yang tidak seberapa sebelum sang pria utama itu akan tiba.

Satu hal yang perlu dia ingat, ini adalah kali pertamanya kakinya berpijak di Candi Bajang Ratu. Rasanya sudah cukup kentara dari sini, kalau Laras memang bukan orang yang sangat bernafsu dengan sejarah seperti Lesmana. 

Destinasi wisata sejarah di Jogja yang sebegitu banyaknya saja hanya Laras datangi ketika Lesmana sedang baik hati. Kalau pria itu tak berniat mengajak, lebih baik Laras pergi ke tempat yang selalu bisa menyuguhkan pemandangan dinamik lembayung senja, seperti Heha Sky View atau Bukit Bintang mungkin saja.

Candi/gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara.

Sepertinya Laras hanya sedang kerasukan ambisi Lesmana, karena dengan sadar, dia baru saja melakukan research tentang sejarah Candi Bajang Ratu, dan benar-benar menyisir artikel demi artikel di dalam sana dengan mata terbuka. Setidaknya, dia tak hanya selalu mengingat Gajah Mada dan sumpah amukti palapa saja pada otak payahnya. 

Setidaknya juga, kini dia tahu, kalau dalam rumitnya sejarah buana, pernah berdiri sosok raja yang dituliskan amoral seperti Jayanegara. Raja yang dikenal jahat dan lemah, yang bahkan dirumorkan akan menikahi adik-adiknya sendiri agar tiada siapapun bisa melengserkan kuasa monarkinya. Baginya, pergolakan adalah kawan, dan ketentraman hanya sebuah kebetulan.

Nyatanya, Negara dhystopia itu benar adanya. Laras tidak mengerti, kenapa pemerintahan Jayanegara bisa menjadi sekacau itu. Bahkan, nyaris tak ada manusia yang mau menyanjung namanya, atau setidaknya mengelu-elukan sepekat kebaikan yang pernah ia lakukan. Pria itu seolah-olah terlihat seperti monster mengerikan yang hanya sedang terbalut ketidak sempurnaan citra seorang kstaria. 

Bukankah seseorang biasanya memiliki sisi buruk dan sisi baik? Tidak selalu Jayanegara dikecam karena hidupnya hanya terus melakukan kejahatan, bukan? Apakah memang benar-benar tidak ada setitikpun kebaikan yang tersebar?

Entahlah. Yang penting, kini Laras meras jika dia sudah menjadi seorang sejarawan meskipun yang baru diketahuinya kira-kira 15% dari 100%. Terlihat seperti sebuah pencapaian baru selain seharian bisa makan tepat waktu, sebuah keajaiban dan prestasi gemilang yang harus Laras beritakan di penjuru dunia. Memang agak hiperbola, namun begitulah Larasati Senja.

"Pak Wisnu agak telat, Ras. Tadi pas mau ke sini ada urusan bentar, katanya,"

Nekat. Laras memutuskan untuk mengikuti kata hatinya ketimbang pikirannya yang semrawut. Dia sudah siap mental untuk segera bertemu dengan Wisnu, dia bahkan sudah berlatih untuk berekspresi sebagaimana baiknya tatkala tangan agung pria itu akan menjabat tangan Laras. Tak ada yang perlu dipusingkan kembali selain penampilannya yang sudah sedikit berubah karena sapuan angin dan teriknya surya Mojokerto. 

Toh, mimpinya itu hanya bunga tidur, 'kan?

"Tapi, ini mau sampai," sambung Lesmana seraya menujukan pandangannya pada layar ponsel.

Laras kembali menoleh pada Lesmana yang menjulang di sebelahnya sebelum menganggukkan kepalanya kikuk. Argh! Kenapa dia menjadi mendadak gugup? Dia rasa, keputusannya untuk pergi bersama Lesmana ini adalah keputusan yang benar-benar salah. Oke, Laras menyesal. Akan teramat sangat lebih baik kalau Laras hanya melihat Wisnu dari media sosial saja ketimbang bertemu langsung seperti ini. Laras yakin, dia akan sempoyongan saat parfum Wisnu sudah tercium dari radius sekian meter!

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now