03 | [೫]

30.7K 5.2K 250
                                    

"Bisakah kau mengajarkanku bagaimana tekniknya, Adinda?"

Menjeda, Laras yang semula membereskan peralatan lukisnya itu mengalihkan pandangan pada pria yang mengisi hatinya. Kepalanya sedikit miring dengan mata yang mengerling, sembari jari telunjuknya itu mengetuk dagu ringan, "Eung ... seribu keping gobog untuk belajar teknik dasar."

"Tidak ada lagi?" Dagunya meninggi dengan sombong. "Jika kau meminta sepuluh ekor gajah pun aku akan memberikannya, bahkan seluruh Majapahit." 


"Akh!"

Seperti baru saja terhantam ombak yang kuat, kepala Laras langsung terasa berdengung. Jemarinya menekan pelipisnya kuat-kuat, berharap jika sisa kewarasannya bisa menekan sebuah rasa sakit yang kini sudah terasa menjalar masuk ke dalam sel-sel otak kerdilnya. Dia berusaha mengembalikan pandangannya yang sejenak sempat kabur, dan mengumpulkan kesadaran. Matanya perlahan mengerjap tatkala cahaya lamat-lamat seperti memaksa masuk untuk menghujam irisnya. 

Pandangannya beringsut menelisik sekitar, mencoba meraup kembali ingatannya beberapa saat yang lalu. Alih-alih mendapatkan seutas memori, mata Laras yang mulai terbuka lebar malah menghipnotis pikirannya untuk mencabar di mana gadis itu sekarang ini. Kamar bercahaya temaram bergaya klasik dengan aksen Romawi kuno membuat keningnya mengernyit. Pernak-pernik serta segala furnitur bergaya Eropa seolah menggiring Laras pada nuansa Prancis yang pernuh estetika. 

Dua pasang jendela besar menjulang dengan gorden cascades abu-abu perak terasa asing di netranya. Sebuah lukisan megah Kerajaan Jawa Kuno dengan bingkai warna emas bermotif sulur di salah satu sisi dinding dekat fireplace membuatnya menyipit.

Akhirnya Laras terduduk dengan kedua alis yang saling bertaut. Aroma musk yang menguar setelah semua inderanya terbangun itu merampas kembali seluruh kewarasan yang dia punya. Jantungnya langsung memompa keluar ketika dia sudah benar-benar sadar jika kamar mewah yang ditempatinya sekarang ini adalah ruangan yang teramat asing. 

Apakah Laras berada di surga? Apakah interior surga memang mengusung tema Eropa klasik seperti ini?

Kepalanya sontak menoleh ketika suara 2 orang pria samar-samar mengusik telinganya. Panik dengan pikirannya sendiri, Laras langsung menyibak selimut dan turun dari ranjang berukuran king size yang sempat membuat matanya melotot keheranan. Lantai marmer yang menyerap udara pendingin ruangan membuat kaki Laras yang tanpa alas terasa seperti ditusuk banyak gumpalan es.

Gadis itu mengendap dengan was-was sebelum mendekatkan salah satu telinganya pada pintu besar bercat hitam. Sepersekian detik, Laras bernapas lega setelah salah satu suara pria yang berbincang di luar sana adalah suara kakak sulungnya.

Tangannya meraih gagang pintu lalu membukannya dengan cepat, "Mas—"

Dia terdiam tiba-tiba saja. Bibirnya kelu tatkala netranya bertubrukan dengan iris selegam malam milik seorang pria yang duduk berseberangan dengan Lesmana. Kemeja putih slim fit-nya yang ditekuk sebatas siku itu terlihat sedikit berantakan, rambut dengan model comma hair-nya bahkan sudah cukup acak-acakan.

Guratnya yang tertangkap ke dalam manik Laras jelas kentara jika pria itu tengah menyembunyikan rasa khawatir di balik garis mukanya yang tegas. Kini, bahkan ada sebuah rasa di dalam dada Laras yang sulit dirinya sendiri terjemahkan.

"Larasati,"

Gumaman pria itu sangatlah pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Namun, gerakan bibir Wisnu sudah jelas terekam ke dalam pupil mata Laras. Dia selangkah mundur ke belakang hingga punggungnya menabrak pintu kamar tempatnya terbaring barusan.

Piringan otaknya seakan langsung memutar kembali kejadian lalu, saat dia melihat Wisnu yang mengenakan pakaian kuno. Pria itu terdengar memanggilnya berulang kali dengan alunan nada yang sanggup menggetarkan telinga, begitu lembut dan meneduhkan. Pria itu tersenyum manis, seolah ia benar-benar mendamba Laras untuk segera datang padanya saat itu juga.

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now