20 | [೫]

15.7K 2.9K 38
                                    

"Nyai Sudrati! Dia sudah sadar!"

Wanita bungkuk itu mempercepat langkahnya memasuki ruangan cukup luas dengan sebuah ranjang dan beberapa perabotan—serta sisa-sisa bokor perak kosong yang masih berkilat-kilat. Dia tersenyum lebar melihat wajah Laras yang penuh keterkejutan. Sebelumnya, dia mengambil sebuah piringan kecil berisi tumbukkan daun yang akan digunakannya untuk mengobati luka-luka Laras.

Sudrati duduk di tepi ranjang dan membantu Laras untuk menegakkan tubuhnya perlahan, "Yang Mulia Gitarja harus secepatnya memberi tahukan kabar baik ini kepada Gusti Prabu,"

Gadis yang baru saja dipanggil Gitarja itu mengangguk cepat penuh semangat; melangkahkan kaki dengan terburu untuk melakukan permintaan Sudrati. Mata Laras yang tengah mengikuti ayunan kaki Gitarja dibuat membulat karena terkesiap ketika tumbukan daun itu dibalurkan ke atas luka-luka di tangannya. Dia meringis kesakitan.

"Lukamu memang tidak terlalu dalam, Nduk. Tapi, menerima tusukan pada dua sisi tubuh yang berbeda ... seorang prajurit terlatih pun mungkin akan mati karena tak bisa menahan rasa sakit. Kau lebih kuat dari yang kukira, kau diberi anugerah oleh Sang Hyang,"

Laras melirik luka-luka yang belum mengering, serta menurunkan pandangan pada dadanya yang diperban dengan bekas darah yang sudah memudar hingga menjadi samar. Laras mengerling. Di masa lalu, dia berhasil melewati masa kritisnya—sekarat bukanlah hal yang mudah untuk dilewati. Benar saja jika Adityawarman menamainya ayam hutan. Mungkin, setelah ini, Sudrati akan menamai Laras kucing liar karena dia masih tetap hidup meski dua senjata tajam menembus kulitnya.

"S-sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri, Nyai?"

"Tiga hari,"

"Hah!?" Laras mengerjap-ngerjap tak percaya.

Baru saja Laras kembali secepat itu, hanya beberapa jam setelah Laras dinyatakan hampir gila karena melamun di dalam candi Bajang Ratu. Dia bahkan hanya bertemu dengan—tunggu, di masa depan, dia baru saja bertemu dengan siapa? Yang Laras temui setelah dia bangun itu siapa? Argh! Ini benar-benar gila. Kerusakan otaknya sudah di luar batas kewajaran! Laras tidak bisa mengingat wajah seseorang pun yang dia temui di masa depan!

"Kenapa, Nduk? Kau bermimpi apa?" cemas wanita itu.

Laras menggeleng pelan sembari menggaruk tengkuknya, "Tidak ada."

Gadis itu kemudian mengedarkan pandangannya kembali pada sekitar. Ruangan ini jauh lebih layak ketimbang kamar Laras di Bedander. Angin tak bisa menembus bata merah yang tertumpuk rapat untuk menusuk kulit. Keningnya berkerut. Rasanya tak mungkin jika rumah seperti ini hanyalah milik seorang sudra. Bokor-bokor perak dan lemari berukir itu juga bukan milik seorang waisya.

"Sebentar," Laras menjauhkan badannya seiringan dengan kedua tangannya yang menyilang di depan dada. "Apa yang akan Nyai lakukan?"

Sudrati menaikkan kedua alisnya heran, "Mengganti perbanmu, memangnya apalagi?"

"Aku bisa menggantinya sendiri," sergah Laras dengan kembali menghindarkan tubuhnya dari tangan Sudrati.

Wanita baya itu tersenyum geli. "Aku juga wanita. Aku juga memiliki apa yang kau miliki. Bedanya, milikmu sempurna, sementara milikku sudah tak ada apa-apanya. Lagi pula, selama tiga hari ini siapa yang menggantikkan perbanmu selain aku? Dan dengan luka-luka di tanganmu, apakah kau bisa meraih punggungmu sendiri?"

Laras mengulum bibir. Dia mengendurkan tangannya dan mencoba menerima perlakukan dari Sudrati. Perlahan ia melepas bebatan perban pada dada Laras, dan membukanya dengan hati-hati. Tangannya memberikan tumbukkan daun itu ke atas luka Laras yang membuat dirinya sendiri bahkan meringis ngeri.

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now