39 | [೫]

18.3K 3K 117
                                    

“Ini undangan lo. Kak Lesmana pasti ikut.”

Maldi, teman sekelas Laras—alih-alih menikmati hingar-bingar ibu kota, ia malah memilih Jogja. Maldi sepertinya sangat paham bila Lesmana adalah pria yang suka makan gratis di kondangan. Pemuda itu yang sempat mengajak Laras untuk pergi ke pameran Wisnu sebelum Laras diberi tawanan oleh Lesmana jika ada undangan VIP. Menolak Maldi juga hal yang kurang patut. 

Mengangkat sebelah alis sebelum matanya mulai membaca nama dua sejoli yang tertulis, Laras hanya menganggukkan kepala seraya berkedip beberapa kali tanpa bertanya. Sepasang alumni kampus Laras yang terkenal itu benar-benar memutuskan untuk menikah. Gila, padahal skandal mereka itu tak terhitung jari. Eh, kok malah julid!

“Mas Nana nggak bisa ikut, Mal. Nikahannya minggu depan, meanwhile Mas Nana tanggal tujuh belas aja pergi ke Ubud.”

“Yah. Padahal mau gue ajak bareng,” sahutnya. “Apa lo mau berangkat sama gue, Ras?”

Laras menggeleng. “Nggak, Mal.”

“Hah? Yakin lo sendiri? Ntar nggak ada temen makan,”

“Ada kok.”

“Siapa?”

“Ya ada lah. Mending kamu ajak anak prodi musik tuh yang katamu kayak Maudy Ayunda. Barangkali bisa beneran jadian?”

Maldi bergeming sejenak, terdiam dengan sengaja untuk membiarkan Laras bisa beberapa langkah meninggalkannya. Alis saling menukik, matanya memicing memandang punggung mungil Laras yang menjauh. Bertanya-tanya. Tak biasanya Laras akan mengajak pria lain ke acara-acara di luar kampus atau ke kondangan—Lesmana adalah satu-satunya. Jika kakak lelakinya itu tengah sibuk, maka Maldi lah yang akan mengajukan diri. Bagaimana lagi, sama-sama ditakdirkan sebagai jomblo karatan.

Namun, kali ini, dengan penuh percaya diri gadis itu mendeklarasikan bila dia akan pergi dengan orang lain. Sungguh keajaiban.

“Oke, I’ll do that,” sahutnya sambil berlari kecil untuk kembali menyejajari Laras. “By the way, Ras ... lo jadinya sama Kak Lesmana atau gue, ke pamerannya Wisnu Prawiranegara di Atrium Centre?”

“Masih coming soon, ‘kan, Mal?”

“Ya tapi ‘kan Jogja udah heboh, Ras. Anak-anak kampus kita aja udah pada ramai bicarain ini. Kalau nggak ambil ancang-ancang, ntar nggak bisa ketemu Wisnu Prawiranegara nya langsung.”

Maldi terlihat begitu antusias. Karena salah satu role pria itu adalah Wisnu Prawiranegara. Menjadi salah satu anak didik, atau bahkan bekerja sama dengan sang Maestro adalah impian terbesarnya. Ia bahkan sangat sering bercerita pada Laras jika ia ingin bertemu dengan Wisnu, setidaknya sekali saja. Berjabat tangan, dan berfoto—hal yang sepertinya mustahil karena Wisnu cukup tertutup pada orang luar bila tidak berkepentingan.

Laras terkekeh. “Nggak sama gebetanmu itu?”

“Fuck off. Dia ke galeri seni buat foto. Masuk. Sepuluh menit, jepret-jepret, upload. Udah. Lo bayangin aja, kita berdua kalau sekali masuk galeri seni bisa nyaris dua jam, ‘kan? Masa gue paksa dia buat nunggu? Kalau konteks nya nge-date oke lah. Tapi, kalau kebutuhan pengetahuan begini, nggak dulu.”

“Iya deh, aku sama kamu. Mas Nana sama temen kantornya paling.”

“Deal!” Maldi menyahut dengan lantang.

JAYANEGARA ✓حيث تعيش القصص. اكتشف الآن