44 | (ekstra kehidupan)

31.6K 3.9K 494
                                    

Bumi meringis, lebih tepatnya nyengir ketika tangannya yang mungil berhasil memberikan sebuah noda warna pada wajah rupawan Wisnu. Setidaknya Laras memberikan cat poster pada Bumi, jadi dia tak usah menjadi senewen dengan bau tiner yang akan membasuh muka suaminya itu. Belum lagi bercak dan rentetan telapak tangan Bumi pada kaos Wisnu yang bermerek, begitu warna-warni dan membuat tenggorokan Laras sedikit gatal.

"Ini mahakarya, Sayang." Wisnu memihak pada Bumi agar Laras tidak mengomel.

Wanita itu tak memiliki pilihan lain, dia hanya tersenyum pasrah tanda mengibarkan bendera putih. Anak sulungnya itu ingin sekali menguasai banyak hal, dan rayuan Wisnu sungguh tak dapat dinego. Kegiatan melukisnya dengan sang suami kini sering berganti menjadi pertunjukan lenong balita. Maharaja kecil yang sakti itu selalu mengganggu suasa romansa Ayah dan Ibu nya. Jangan paksa Laras untuk menghitung pula seberapa banyak Bumi mengganggu malam Wisnu dan Laras yang sedang panas.

"Mau gambar apa sih, Bum? Sibuk banget dari tadi Ibu lihat."

Bumi berhenti sejenak, jari telunjuknya mengarah pada salah satu sudut kaos Wisnu. "Bebek."

"Mana bebeknya? Itu benang ruwet kok." Wisnu getol menggoda Bumi.

Dengan nyalinya, Bumi melihat Wisnu sangat tak terima. "Bebek, Ayah! Bumbum agi bal beb──" Bumi yang tak bisa menyeimbangkan berat tubuhnya itu, terhuyung.

Bumi terbahak. Jantung Laras benar-benar berdetak terlalu cepat ketika tubuh mungil itu akan terjengkang ke belakang. Namun, dengan sigap Wisnu meraih punggung dan kepala Bumi hingga dirinya juga hampir jungkir balik. Dan lihat, bayi itu malah menertawakan muka panik kedua orang tuanya yang sudah hampir merah padam.

"Lain kali Bumbum lebih hati-hati, ya? Oke?"

Bumi mengangguk saja untuk membalas kekhawatiran ibunya. Ia memeluk Wisnu, berdiri di antara kaki ayahnya yang bersila dan menaruh kepalanya pada ceruk leher pria itu. Terkadang Bumi memang masih bimbang untuk menentukan wangi mana yang lebih membangkitkan gairahnya untuk 'ndusel-ndusel'. Wangi maskulin Wisnu memang sangat segar, apalagi bila ayahnya itu selesai mandi. Namun, harum tubuh ibunya yang memikat sungguh membuat Bumi selalu ingin tidur pulas.

"Matatih, Ayah, uyong Bumbum."

Wisnu mengelus belakang kepala Bumi. "Sama-sama. Dek Bumi denger kata Ibu 'kan? Lain kali hati-hati, ya."

Bumi belum ingin melepaskan pelukannya, hingga Wisnu tersadar kalau istrinya itu jadi jamuran. Ia terkekeh pelan, kemudian merentangkan salah satu tangannya.

"Sini, Ras. Mas peluk juga."

Laras terkikik. Dia ikut menghambur dalam pelukan Wisnu setelah pria itu merengkuh tubuh Laras semakin dekat.

Tangan kanan yang mengelus punggung Laras, dan tangan kirinya itu mengusap puncak kepala Bumi. Tak ada yang lebih hangat dari dekapan dua orang yang paling Wisnu nantikan dalam takdirnya. Berapa derajat Celsius kota Yogyakarta sekarang ini? Wisnu tak tahu. Karena relung dadanya benar-benar terasa menghangat.

Kendati telah tenggelam bersama senja, namun sosok Jayanegara tetaplah ada. Larasati pun sudah terbenam bersama dengan kenangannya, namun, Bumi──Adipati Bumi Prawiranegara bahkan dapat melihat sejarah dan rahasianya itu dari balik cakrawala. Ucapan Bumi di Museum Trowulan tempo hari benar-benar membuat bibir Wisnu terkatup dengan selaksa tanya. Bagaimana anak itu bisa mengenali sosok sang ayah bahkan meski muka dalam lukisan itu sudah termakan asrar? Ini hadiah takdir.

Dulu, Jayanegara selalu berkata bila ia hanya sedang hidup dalam mimpi buruknya sendiri. Hidup adalah hukuman, dan takdir adalah bohong. Suara yang tak didengar, dan senyum yang tak terbalas adalah kisah indah hidupnya yang malang. Memiliki Larasati adalah sebuah anugerah, namun, Jayanegara tetap memiliki mimpi buruknya kembali dengan pergi tanpa pamit. Titik mimpi terburuk adalah meninggalkan sang dayita sendirian dengan hati yang remuk redam.

Wisnu Prawiranegara tak akan membiarkan mimpi buruk Jayanegara itu harus kembali. Tak akan ada pola yang terulang. Biar saja Jayanegara itu tenggelam bersama senja dan takdir. Prabu Jayanegara sudah selesai bersama kisah cintanya yang tragis. Kini pria itu lahir baru sebagai seorang Wisnu yang dicintai, bukan lagi pria lemah tanpa seorangpun akan berbagi hati.

Laras dan Bumi adalah seseorang yang benar-benar Wisnu nantikan dalam hidupnya. Menjadi seorang seniman dengan sebuah kesederhanaan keluarga kecil, itu adalah impian Jayanegara. Wisnu yang berhasil meraihnya. Jadi kini Wisnu lah yang akan menorehkan sejarah barunya sebagai seorang Wisnu Prawiranegara, bukan lagi sebagai sang Jayanegara. Di antara mimpi buruk Jayanegara itu, terikat takdir dengan Larasati adalah mimpi terindah yang ia miliki. Wisnu sungguh sangat berterima kasih untuk itu.

"Wira telepon."

Ponsel Laras berdering, dan ekor mata Wisnu sempat meliriknya. Wanita itu membenarkan posisi duduknya sebelum menerima panggilan video dari Wira.

"Mash Ia!" Bumi langsung memekik sangat bersemangat ketika muka Wira muncul pada layar.

Wira tertawa menanggapi antusiasme Bumi. "Halo, Om Wisnu kecil. Kok cemong-cemong cat?"

"Lagi ngelukis, Ra. Nih, Mas Wisnu aja juga ikut dilukis sama Bumbum." Laras mengarahkan kamera ponselnya untuk menyusuri wajah hingga sepanjang pakaian Wisnu.

Wira kembali tergelak. "Itu nanti lama-lama satu rumah juga bakal dicat sama Bumbum. Bagus Bum, nggak papa. Lanjutkan prestasimu."

Laras kelihatan berbisik pada Bumi, sesuatu yang jelas tidak dapat Wira dengar dari seberang. Wanita itu sedikit menoleh, bibirnya terlalu dekat dengan telinga Bumi. "Bum, Mas Wira ingetin makan dulu, soalnya nggak punya ayang."

"Mash Ia dah amam yum?"

"Hm, apa?" Wira terlihat habis mengerjakan sesuatu.

"Mash Ia dah amam yum?"

"Apa, Bum? Mas Ia nggak denger, keras dikit dong."

"Mash Ia dah amam yum!?"

"Hah?"

"Telinganya budeg." Laras bergumam, hanya dibalas gelak tawa Wisnu yang rasanya juga ingin memberikan Bumi sebuah megaphone.

"Udah, Bumbum. Mas Ia masak sendiri lho. Masak apa coba ... tebak." Wira menjawab setelah telinganya terlihat baik.

Bumi berkedip-kedip, dari sekian banyak menu yang pernah ia makan, nama makanan yang hanya bisa terucap fasih dalam bibir mungilnya adalah, "Bebek?"

Wira tergelak. "Salah. Ya telur lah. Mas Ia kan pinter banget kalau suruh goreng telur. Ya nggak Om Wisnu?"

Pria itu hanya tertawa saja dengan tingkah Wira yang lama-lama terasa mirip seperti Lesmana. Mereka cepat akrab, dan kini keduanya bahkan hampir terlihat seperti bromance.

"Oh iya, Om. Besok kalau Wira udah pulang ke Indonesia, Wira nggak jadi bayar per hurufnya Om Wisnu itu. Gonna waste my balance." Wira menantang. "Terus Mbak Laras, ya ... Mbak Laras nggak bisa bohongin Wira lagi."

Kedua alis Laras kontak bertaut, "Bohongin apa sih, Ra?"

"Depan B belakang R, ada delapan huruf ... itu Bedander, 'kan?"

Laras dan Wisnu saling bersitatap. Mata Laras hanya melebar, namun bibir Wisnu malah tersungging puas. Wanita itu menggelengkan kepalanya dua kali dengan pelan hingga Wisnu memilih untuk terkekeh dan mengelus puncak kepala istrinya.

Mahawira sudah kembali?




──Ⲋꫀᥒjᥲ ᥙᥒtᥙk Ꭻᥲᥡᥲᥒꫀgᥲɾᥲ──
SELESAI.


Terima kasih banyak atas dukungan dan banyak cinta yang sudah diberikan untuk cerita tidak sempurna ini. Tere meminta maaf jika masih terdapat beberapa penulisan yang tidak sesuai dengan ejaan yang benar. Dukungan kalian adalah segalanya bagi Tere.

Terima kasih sekali lagi.

Jika ingin berinteraksi lebih lagi, kalian bisa follow Instagram: morpheuspoem.

Have a great day!

Salam hangat,

Theresa.

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now