06 | [೫]

25.2K 4.1K 68
                                    

Gadis itu sedikit mengintip dari balik kanvas dengan lukisan Candi Bajang Ratu yang sudah tuntas. Setidaknya dia sudah memotret bangunan tua itu beberapa saat lalu sebelum Lesmana menghilang dan belum kembali hingga saat ini. Sudah hampir 30 menit Laras berada di di tempat yang sama, berdiri di atas rerumputan hijau sambil sesekali menghela gusar karena menunggu kehadiran kakak sulungnya yang entah menuju ke dimensi apa. 

Pukul 2 siang, di mana matahari sedang bersinar begitu terik menghujam rusuk, Laras dan Lesmana sampai di Candi Bajang Ratu setelah rencana mendadak pria itu untuk pergi ke sini lagi—untuk memotret gapura kuno itu dan beberapa bagian tempat karena kehebohan Laras kala itu membuat Wisnu dan Lesmana tak sempat mengambil satupun gambar.

Menghela gusar. Gadis itu mengangkat midi skirt kebiruan sepanjang lutut, dan beranjak beberapa centi dari hadapan lukisannya yang belum sepenuhnya kering. Matahari terasa kian menarik larik-larik cahaya untuk segera bertandang ke ufuk barat. Masih ada beberapa menit sebelum lokasi wisata bersejarah ini akan benar-benar tutup, setidaknya Laras mungkin bisa mencari Lesmana dengan sisa waktu yang tidak banyak itu. 

Ah, kenapa Laras malah tiba-tiba teringat akan tanggal kepulangan Wisnu—maksudnya, besok hari. Berjanji pada dirinya sendiri untuk sebaiknya Laras tidak akan pernah menemui pria itu lagi, sampai kapanpun. Sosial media saja sudah lebih dari cukup. Laras akan benar-benar pergi ke psikiater setelah ini dan memperbaiki sel-sel otaknya yang sudah ruwet. 

Tunggu, bagaimana dengan makan rawon bersama? Bukankah Laras juga sudah berjanji pada Wisnu untuk memasak rawon lagi? Argh! Ini gila!

"Larasati,"

Ketukan jari Laras pada dirinya sendiri tiba-tiba saja berhenti. Ada seorang wanita yang memanggilnya dari balik punggungnya. Bukan, sepertinya dari samping?

"Larasati,"

Keningnya kontak saja berkerut, alisnya yang saling bertaut mencoba membuat matanya kian menajam menerobos pada sisa kerumunan. Samar-samar wangi bunga kantil terhirup, membuat Laras harus meletakkan kuasnya dan mencari-cari arah suara.

"Larasati, aku di sini."

Seorang wanita menjulang dengan pakaian kuno serba hijau dan pernak-pernik emas yang berkilat-kilat. Mahkota agung membingkai surai hitam panjang yang terlihat lurus dan terawat. Dia bahkan terlihat terlalu rupawan bagi ukuran orang biasa, kulitnya itu terlihat bersinar laksana chandra.

Di belakangnya, berbaris para dayang dengan selendang berkilau. Kereta kencana bercorak emas dan parade pasukan bertombak tajam. Laras spontan saja terbelalak. kapan terakhir kali Laras benar-benar menyadari kalau tempat ini benar-benar ajaib? Bagaimana orang-orang di sini bisa membuat replika kereta kencana sebagus itu? 

"Cah ayu, sudah berapa lama kau meninggalkan anakku?"

"Hah?" Laras memandang wanita di hadapannya penuh tanya.

Wanita itu hanya tersenyum. "Aku sangat paham apa yang kau rasakan, itulah sebabnya aku berada di sini," 

"Tidakkah kau terganggu dengan mimpi-mimpimu?" sambungnya. 

Laras mengerjap tanda terkejut. "A-Anda tahu mimpi saya?" tanyanya khawatir.

"Nduk, itu bukan mimpi-mimpi burukmu," wanita itu mendekati Laras, lalu mengusap belakang kepalanya dengan lembut, "Itu adalah puing-puing ingatanmu,"

"Pu ... puing-puing ingatan?"

Wanita itu tersenyum lebih lebar menanggapi ekspresi muka Laras. "Ingatan masa lalumu."

Laras termangu sejenak, lalu menegakkan  kepalanya untuk kembali menatap wanita dengan pakaian hijaunya, "Ingatan masa lalu? B-bisakah Anda menjelaskannya? Maksudnya, bagaimana Anda bisa tahu?"

Tidakkah ini bisa dikatakan sebuah keburuntungan, jika tiba-tiba saja kau dihampiri oleh seorang cenayang, dan dia bisa membantu untuk meluruskan masalahmu? Di antara setengah percaya dan tidak, namun Laras mencoba saja tidak berurusan dengan logikanya. 

"Kau tidak memerlukan penjelasan, kau hanya membutuhkan ingatanamu, sepenuhnya,"

Gadis itu kembali menggeleng tak mengerti. Dan tatapan bodohnya sama sekali tak membuat wanita di hadapannya menjadi terusik atau bahkan hilang kesabaran. 

"Ikutlah denganku, dan kau akan segera mengerti."

Laras tak punya pilihan lagi, selain hanya menurut untuk mengikuti wanita misterius itu, dan mendapatkan sebuah penjelasan meski barusan dia berkata jika tak ada yang perlu dijelaskan. Setidaknya. Laras bisa mendapat titik cerah. Dengan begitu, otak tumpulnya ini tak akan benar-benar menjadi rusak. Tidak menjadi masalah jika Laras sama sekali tak mengenal wanita cantik ini, yang terpenting adalah bagaimana cara dirinya agar bisa menyingkirkan Wisnu dari mimpi-mimpinya!

Ia membawa Laras mendekat pada candi Bajang Ratu. Namun, di saat yang bersamaan, seketika suasana menjadi sunyi. Langit yang sudah berangsur mendekati senja terlihat membawa akara candi menuju timur. Laras cukup terkejut karena matanya tak menangkap sebuah tanda larangan untuk menaiki candi. Bahkan wanita itu hanya melenggang menaiki undakan seakan ia tak pernah melihat ada sebuah plang kecil yang berdiri.

Selaksa pertanyaan pada otak Laras seperti langsung dibungkam tatkala kakinya sudah berpijak pada undakan terakhir. Hatinya serasa langsung mencelos, seakan ada bagian dirinya yang hilang. Lagi-lagi, ada sesuatu yang bergejolak dalam dadanya dan tidak bisa dirinya terjemahkan. 

Kini wanita itu berbalik, menatap ke dalam mata jernih Laras, "Kau dan takdirmu sudah terikat, Laras. Yang kau lihat itu bukan mimpi, itu adalah ingatanmu. Kini aku akan membantumu untuk mengembalikan ingatan masa lalumu. Turunlah,"

Laras cukup ragu. Namun, entah sihir apa yang membuat Laras pada akhirnya menurut dan berjalan perlahan untuk melintasi ambang candi, lalu menuruni undakan secara perlahan. Jika itu adalah satu-satunya cara, kenapa tidak?

"Yang kau lakukan nanti, akan selalu selaras dengan alurmu di masa lalu. Kau tidak akan mengubah apapun yang sudah terjadi dulu ... karena aku bukan mengirimu dari masa depan untuk kembali ke masa lalu, aku hanya membantumu untuk mendapatkan kembali ingatanmu."

Dari atas sana dia melihat ke bawah pada Laras. "Anakku sudah menunggu ribuan purnama lamanya, kini kau harus kembali padanya."

"Kembali? Saya harus kembali pada siapa?" pungkas Laras.

"Kau akan mendapatkan jawabanmu jika ingatanmu sudah kembali," 

"Saya akan mendapatkan ingatan saya itu? Tunggu, s-sebenarnya siapa Anda? Bagaimana Anda bisa tahu semua ini? Apa Anda pernah bertemu saya?"

Wanita itu berbalik, memunggungi Laras. "Aku adalah Kanjeng Ibu Ratu Kidul, Cah ayu."

Muka Laras langsung tak berwarna, bulu kuduknya meremang hebat. Bibirnya terkatup rapat setelah benar-benar tak bisa lagi untuk mengutarakan seberkas ucapan. Seketika dia bersujud, dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. 

"Ingatlah perkataanku tadi, dan kau akan semakin mengerti." 

Laras terlongong-longong, dan terdiam beberapa saat. Laras kembali berdiri sebelum mengulurkan tangannya untuk menahan wanita terhormat itu yang akan kembali, lalu meningalkannya dengan sejuta pertanyaan yang membuatnya cukup frustrasi.

Namun satu kedipan matanya, membuat sekeliling terlihat kabur. Hingga kemudian sebuah suara kicauan burung prenjak menganggu liang pendengarannya. Terasa buram hingga semuanya terlihat menjadi sangat jelas. Rasanya seperti saat Laras membuka matanya setelah terbangun dari tidur panjang. Perlahan udara-udara samar dan kabut tipis terurai, menyuguhkan sebuah pemandangan tak asing. 

Benar-benar hanya satu kedipan mata.

Dia tertegun. Kini yang dilihatnya bukanlah sebuah tatanan apik banyak jenis tanaman yang dia lihat pada sekitar candi Bajang Ratu, atau hamparan rerumputan hias dan jalanan bersih. Namun, hanya sepekat suasana lembayung yang begitu kuno, dengan sebuah rucita cahaya obor yang berkibar-kibar. Jajaran banyak pohon randu dan pohon tanjung kontak pula membuat kedua alisnya menukik begitu tajam. 

Apa ini benar-benar bukan mimpi? Apa ini benar-benar bagian dari ingatan Laras yang hilang? 







──Ⲋꫀᥒjᥲ ᥙᥒtᥙk Ꭻᥲᥡᥲᥒꫀgᥲɾᥲ──

JAYANEGARA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang