21 | [೫]

15.3K 2.8K 24
                                    

"Pulang? Nyai Sudrati sangat piawai dalam hal pengobatan, tidakkah Nyai tertarik untuk bekerja sebagai tabib di istana? Apalagi banyak tabib-tabib yang sudah dikeluarkan karena sebelumnya mereka berada di kubu Ra Kuti. Istana pasti sedang membutuhkan kandidat tabib baru saat ini,"

Beberapa hari berlalu hingga Laras merasa lebih baik. Kediaman milik kerajaan ini adalah tempat persinggahan Laras mengembalikan tenaganya untuk sejenak. Beberapa bekas lukanya sudah mengering—luka-luka kecil yang terasa menusuk-nusuk ketika tengah membasuh diri—sudah lebih baik ketimbang pertama kali Laras menyadari jika sebuah tombak runcing benar-benar menikam dadanya.

"Memang impianku sejak dulu, tapi mana bisa. Aku hanyalah mantan budak,"

Laras mengikuti ke mana arah wanita itu berjalan untuk meletakkan kain-kain yang baru saja ia gunakan untuk membersihkan tubuh Laras. "Gusti Prabu pernah berkata padaku, impian tidak memandang dari kasta mana Nyai berasal."

"Laras, aku hanyalah kaum rendahan yang sangat tidak pantas menginjakkan kaki di istana. Lagi pula, Yang Mulia Ra Tanca tidak mungkin menerima tabib seorang mantan budak,"

"Tunggu, apa?" Laras membalikkan badannya untuk memunggungi air mandi, "Ra Tanca? Bukannya seluruh Dharmaputra sudah ditumpas oleh Gusti Prabu, Nyai?"

"Ada pengecualian. Berita beredar jika Ra Semi kabur, dan belum ditemukan hingga sekarang. Lalu Ra Tanca ... tak ada bukti yang mengatakan jika ia bersekongkol dengan Ra Kuti pada pemberontakan itu. Jadi, nama-nya bersih dan ia bertahan di istana." Sudrati kembali membawa tempayan berisi air hangat untuk diisikan pada bak mandi Laras yang belum penuh.

Laras bergeming. Ra Tanca adalah mantan anggota Dharmaputra yang merangkap menjadi salah seorang tabib ahli istana. Satu hal yang tak boleh dia lupakan, pria itu akan membunuh Jayanegara terhitung sembilan tahun dari sekarang. Satu-satunya Dharmaputra yang hidup, dan bertahan di istana—dan satu-satunya orang yang berani menyentuhkan tangan kotornya untuk menodai darah dinasti Rajasa dalam tubuh Jayanegara.

Apakah Laras memang tidak seberdaya itu untuk mengubah secuil alur yang ada saat ini? Untuk memastikan jika yang tertulis di sejarah adalah salah. Ada kalanya beberapa bagian dalam sejarah terlihat berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi, bukan? Karena terkadang manusia terlalu mengada-ada dan hiperbola untuk membuat aksara sejarah dapat menarik untuk dibaca.

Laras ragu. Apakah kematian Jayanegara benar-benar harus terjadi? 



❀⊱┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄⊰❀


Laras menerima kembali abu Wira dan tusuk konde bunga cendana miliknya. Baru saja Gitarja memberinya, terbungkus dengan sebuah kain yang memiliki aksen-aksen emas dengan simbol Surya Majapahit seolah kedua benda di dalamnya adalah sesuatu yang begitu berharga. Jemarinya menelusuri kain itu dan meraba renda-renda bunga pada tepian—bahkan terlalu sempurna jika hanya diberikan untuk seorang gadis waisya.

"Jika kau memang tidak berkenan, tidak masalah. Kau harus ingat, akulah yang memohon padamu untuk tinggal di istana, bukan Kanda Jayanegara." 

Laras mendongakkan kepala. Pikirannya yang terbelit-belit belum bisa untuk dipintai dengan baik, hanya seperti benang kusut yang cukup sulit untuk diurai. Otaknya mengatup penuh pertimbangan. Bimbang, bibirnya mengulum dengan segala keraguan. Jika Laras bisa mencegah kematian Jayanegara, apakah pria itu bisa hidup sampai ia sendiri yang akan memutuskan kematiannya?

"Kanda berkata padaku, kau ingin menghabiskan sisa hidupmu di Bedander setelah ini. Pun, istana bukanlah tempat yang seelok dan seindah bagunannya. Intrik politik akan senantiasa menemani telingamu. Meski kau adalah seorang seniman, istana tetap akan membawa bidang itu dalam kerumitan. Itulah sebabnya Kanda Jayanegara sebenarnya tak ingin kau berada di sana, beliau khawatir padamu,"

Gitarja mengangkat kedua bahunya sejenak. "Jadi, ya, aku tidak bisa memaksamu. Namun, bagiku, kau berpotensi. Itulah sebabnya aku memberikan penawaran secara terhormat. Jika kau memang ingin, setidaknya aku sudah mewantimu mulai dari sekarang. Sejatinya, istana adalah tempat yang tidak baik untuk gadis murni sepertimu, Laras. Namun, jika kau bisa menerima segala konsekuensinya, maka gerbang keraton akan selalu terbuka untukmu,"

Laras menatap Gitarja dengan matanya yang jernih. "Gusti Prabu ..." dia menjedanya untuk meneguk ludahnya perlahan. "... Apakah Gusti Prabu baik-baik saja jika aku menolaknya?"

"Kanda Jayanegara memang ingin jika kau menolaknya saja. Namun, kau tahu ..." Gitarja terlihat meletakkan cangkir teh di atas meja selebar tiga jengkal tangan orang dewasa. "... Beliau saja tidak tidur saat kau terus terbaring, tak mau makan, dan sering melamun. Ku akui, untuk kali pertamanya Kanda Jayanegara terlihat seperti orang tidak waras hanya karena gadis waisya. Jika kau menolak, itu benar-benar tak masalah bagi kami, Laras. Namun, setidaknya temuilah beliau dulu sebelum kau akan kembali ke Bedander. Sebentar saja."

Gitarja terus menekankan hiruk pikuk istana seolah semua hal yang terjadi di dalamnya hanya akan memunculkan sepekat percikan surya bara neraka. Jayanegara meminta Laras menjauh dari istana bukan karena gadis itu tak layak atau terlalu miskin, namun, karena keberadaan gadis itu hanya akan menjadi seperti bunga teratai yang mekar di tengah-tengah kubangan lumpur. Pria rapuh itu terlalu mengasihani Laras.

Kesendirian bukanlah sebuah kebebasan jika kau hanyalah burung dalam sangkar emas. Terlihat seperti seekor monster yang dikurung dan dikendalikan—seperti itulah istana mempermainkan seorang Jayanegara. Orang-orang melihatnya sebagai makhluk mengerikan yang memangsa akal sehat dan nurani, atau sebagai tirani yang haus pengagungan akan darah dinasti. Itu terlalu kejam.

Laras tidak yakin, karena dia bukanlah seorang penjelajah waktu. Dia kemari hanya untuk mengarungi ingatan masa lalu. Sekeras apapun dia akan berusaha, alur yang sudah ditetapkan alam tidak akan pernah bisa diubah, hingga sejarah pun enggan untuk digubah. Ibu Ratu Kidul mengatakan hal yang sama. Dia tak akan pernah bisa merombak apapun, meski secuil aksara dalam Negarakertagama.

Jika memang kematian Jayanegara tak dapat dihindari, setidaknya kesendirian bukanlah hal yang akan ia sanjung sampai mati.

"Hamba akan tetap berada di sisi Gusti Prabu," Laras menjawab pada akhirnya. Bibirnya tergigit pelan, pikirannya terus berkecamuk tak karuan.

"Hamba menerima tawaran Anda untuk tinggal di istana, Yang Mulia."

Sebuah keputusan akhir dia gaungkan dengan sadar. Di hadapan Gitarja, matanya menatap nyalang. Jayanegara tidak boleh kehilangan apapun lagi, bahkan meski seorang gadis yang tak berharga seperti Laras.

 ──Ⲋꫀᥒjᥲ ᥙᥒtᥙk Ꭻᥲᥡᥲᥒꫀgᥲɾᥲ──

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now