16 | [೫]

17.4K 3.1K 60
                                    

Sri Maharaja Batara Prabu Kuti Wisnumurti.

Laras berdecih. "Over hyping!" dia bergumam ketika matanya menangkap sebuah ukiran aksara gelar kemaharajaan Ra Kuti di ujung tembok gapura selatan. "Bisakah Anda menerima ini, Yang Mulia? Jika hamba adalah Anda, maka hamba akan menghancurkan batu ini dengan gapuranya sekalian!"

Dia berkacak pinggang, "Lagi pula untaian gelar itu terlalu bagus. Menobatkan dirinya sendiri, lalu memberi gelar pada dirinya sendiri juga. Orang aneh mana lagi yang akan melakukannya,"

Baru kemarin, gadis itu berlagak seolah dia hanya sedang meratapi hari-hari terakhirnya, berbicara dengan Jayanegara seakan kematiannya sudah ada di depan mata. Namun, hari ini, Laras benar-benar kembali bertingkah acak dengan mengomel pada angin atas hal-hal yang menganggu pandangan matanya seolah dia adalah pemilik Trowulan. Kilatan matanya itu berpendar kibaran bendera perang pada benda-benda dengan aksara gelar Ra Kuti di atasnya. Gadis yang lucu.

"Hamba tak yakin pasar Trowulan akan sesepi ini." Mulutnya kembali mengoceh.

Sepanjang jalan yang menyuguhkan tenda-tenda kosong dengan meja-meja tanpa kehidupan, gerobak tak berisi dan sisa-sisa buah tak terjual yang dibiarkan membusuk di dalam keranjang adalah pemandangan mengenaskan—menyayat hati Jayanegara. Pasar bahkan seperti kehilangan gaungnya.

"Semenjak Ra Kuti berkuasa, banyak tindak kejahatan yang kembali merajalela. Mereka pasti takut jika para preman akan mengambil dagangan mereka lagi,"

Laras meneguk ludahnya kasar. Teringat dengan perkataan Adityawarman tentang kondisi Trowulan kala itu, membuat Laras dengan terpaksa harus menepis jaraknya dengan Jayanegara. Ekor matanya bergerak was-was jika tiba-tiba ada sekumpulan preman yang melompat dari balik tenda-tenda dengan kain kusut. Setidaknya ada seorang raja terlatih yang akan membentengi Laras. Ah, itu kepedean, sih.

Dan meninggalkan kuda di luar gapura selatan juga merupakan hal yang disesalkan. Namun, membawanya masuk ke dalam jalanan Trowulan adalah sebuah kesalahan—memangnya sudra mana yang sanggup memiliki hewan peliharaan yang hanya dipunya oleh bangsawan? Berlarian ke luar jika jumlah preman lebih dari yang dia duga benar-benar akan menghanguskan seluruh tulang kerangka. Kepala Laras menggeleng cepat. Rekaan alur dalam imajinasinya ini terlalu berlebihan.

"Bagaimana Yang Mulia bisa mengetahui kediaman hamba?" Laras sejatinya tak tahu di mana rumahnya di masa ini. Namun, suara-suara di kepalanya seakan menunjukkan ke mana arah dia harus melaju. Ajaib.

"Setelah mengkremasikan mendiang Wira, aku meminta Mada untuk mengantarku diam-diam ke rumah pemuda itu. Tapi, ternyata tak ada siapapun di sana," keningnya kemudian bekerut memikirkan satu hal. "Tunggu, kenapa aku tidak menemukanmu saat itu, Laras?"

Bibir Laras tergigit. "Ra Kuti menginginkan hamba sebagai selir, Yang Mulia. Jadi, hamba diminta kabur ke Bedander untuk menghindari-nya. Namun, selang beberapa minggu setelahnya, hamba kehilangan seluruh keluarga hamba, bahkan Wira, akibat pemberontakan yang dilakukan Ra Kuti,"

Jayanegara terlihat mengerutkan keningnya, ia mengerling. "Benar kata Ki Rangga," ia bergumam di tengah berisiknya kepala yang beradu. Gumaman kecil itu masih bisa terdengar pada telinga Laras, namun tak hendak dia pedulikan karena urusan seorang raja bukanlah konsumsi yang pantas diributkan oleh rakyat biasa.

"Lalu, bagaimana bisa kau tahu semua itu sementara kau bahkan ada di desa yang sangat terpencil, Laras?"

"Wira berteman dengan Yang Mulia Adityawarman, beliau lah yang menolong hamba selama ini, dan memberitahu semua hal yang terjadi di Trowulan,"

"Adityawarman, Adikku?" Kepala Jayanegara menoleh sambil mengangkat kedua alisnya tinggi.

Laras menghembuskan napas. "Memangnya siapa lagi, Yang Mulia?"

JAYANEGARA ✓Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ