10 | [೫]

20.4K 3.5K 51
                                    

Laras tertawa. Sudrati, wanita tua yang tinggal di sebelah gubugnya itu sepertinya senang sekali memuji keberanian Laras yang sebenarnya hanya sebesar biji padi. Apalagi ketika harus menyinggung Trowulan dan perjalanan melelahkan untuk ke sana.


"Sekarang kami benar-benar tidak tahu keadaan Trowulan. Kami tak pernah melihat bagaimana ibu kota sekarang ini. Kau tahu sendiri, jaraknya sangat jauh, bahkan harus melintas empat desa. Dan satu hal yang membuat kami enggan, daripada takut bertemu binatang buas atau bangsa halus, kami lebih takut bertemu perampok. Manusia lebih menakutkan dari apapun."


Selepas puas dengan kegeliannya sendiri, dia menatap sebuah kuas payah yang dibuat dari serat jerami hasil mencuri, disambungkan dengan batang bambu kecil yang kemudian dililit kencang menggunakan tali rotan. Meski terlihat tak sesempurna kuas-kuasnya di masa depan, setidaknya kuas menyedihkan ini cukup nyaman untuk digunakan. Warna-warna primer yang Laras punya dihasilkannya dari tumbuhan seperti: kunyit untuk warna kuning, tarum untuk warna biru, dan biji buah pinang tuau untuk warna merah.

Jari-jari lentiknya kembali mengayunkan kuas untuk menyapukan warna pada bunga yang dia lukis pada permukaan gerabah. Setidaknya gerabah ini akan memiliki sedikit nilai estetika untuk menambah keindahan pada kamarnya yang reyot. Dia menikmati suara bising air yang berderu; berpadu dengan sunyinya nuansa hutan belantara menjelang malam. 

Sudah beberapa senja Laras lewatkan di sini, dia tentu tak bisa melewatkan lagi semburat langit keunguan itu untuk berlalu begitu saja. Sudah Laras bilang, bukan, jika dia menyukai senja. Rasanya tidak masalah jika penunggu hutan akan mengejarnya malam-malam hingga terbirit. Ya, ya, jujur saja Laras tidak seberani itu sebagai seorang gadis sok keren yang melintasi hutan gelap sendirian. Tapi, di kehidupan ini, Laras tak mati karena dimakan hewan buas, 'kan?

Srek!

Kepalanya spontan memutar ke belakang; menajamkan netranya pada semak-semak yang bergoyang. Dedaunan di sana bergerak pelan dengan ayunan berat. Tangannya beringsut menyingkap jarit sambil memeluk gerabahnya erat-erat. Laras menarik ucapannya jika dia adalah tokoh utama yang dapat mengalahkan apa saja dengan tangan kosong. Suara geraman harimau menggerayangi liang pendengaran Laras, membuat bulu romanya kontak saja meremang hebat. 

Kepala hewan berloreng itu menyembul dari balik semak-semak, ia menggeleng cepat ketika percikan air curug mengenai hidungnya. Matanya secara tidak sengaja seperti menemukan keberadaan Laras yang terduduk membeku di atas bebatuan. Naluri hewaninya mencuat setelah sensor pada matanya itu menegaskan jika gadis bodoh di seberang sana adalah seonggok daging segar pemuas lapar.

Entah ada yang mendengarnya atau tidak, namun Laras akan mencoba berteriak, "TOLO—mpphh!"

Dari belakang kepala laras, tangan kokoh seorang pria menutup mulutnya. "Jangan berteriak." bisiknya di samping telinga Laras.

Pria itu sadar jika Laras sedari tadi terus memandangi harimau dengan ketakutan. "Jangan melihat matanya."

Laras tentu langsung memejamkan matanya cepat. Sebuah hentakan angin cukup keras kemudian berhembus dari samping wajahnya. Matanya mengintip, melihat jika pria itu baru saja melemparkan sebuah batu besar jauh ke arah utara. Menimbulkan suara cukup kacau karena batu itu terdengar menyasak semak-semak dan menghujam bebatuan lagi di atas tanah. Si harimau dengan bodohnya membabat habis langkahnya menuju ke arah suara, dan meninggalkan Laras dengan jantung yang nyaris memompa keluar.

Setelah dirasa aman, pria itu langsung menjauhkan tubuhnya dari Laras dan mengambil cukup banyak jarak. "Maaf sudah menyentuhmu tanpa izin. Aku hanya bermaksud membantu."

JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now