24 | [೫]

15.2K 2.8K 92
                                    

Dara Petak adalah seorang Putri dari Dharmasraya. Berawal dari pasukan Kebo Anabrang yang dikirim menaklukan Sumatera, yang kemudian membawa dua orang Putri untuk dipersembahkan pada Kertanegara—Dara Petak dan Dara Jingga. Karena Kertanegara wafat, maka sebagai ahli waris, Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai seorang istri. Wanita itu bergelar Indreswari. Dan Dara Jingga diserahkan pada Adwayabrahma, pejabat Singhasari yang pernah dikirim ke Sumatera.

Indreswari memiliki hati yang lembut, hingga dapat memikat hati Raden Wijaya. Dan dia adalah satu-satunya istri yang melahirkan anak laki-laki, Garbapati. Keadaan itu sempat menyulut gejolak ambisi politik Tribhuaneswari, permaisuri pertama Raden Wijaya yang tak memiliki keturunan. Juga Gayatri, permaisuri ke-4 yang memiliki 2 orang putri—Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat. Merasa tak adil.

Keberadaan Garbapati yang sebagai satu-satunya anak lelaki di dalam istana memperkuat akan keputusan, kepada siapa takhta Raden Wijaya diturunkan. Hingga diusia yang genap 12 tahun, Tribhuaneswari mengangkat Garbapati menjadi anaknya agar dia mendapat gelar sebagai Ibu Suri. Kemudian, nama-nya diubah menjadi Jayanegara.

Jayanegara adalah satu-satunya keturunan yang tidak berdarah Jawa murni, keberadaanya yang sebagai anak selir membuat para permaisuri Raden Wijaya geram. Terlebih ketika Jayanegara baru saja dinobatkan sebagai Yuwaraja. Sudah jelas, jika ia adalah satu-satunya ahli waris. Padahal, Jayanegara sendiri tak pernah ingin menjadi seorang Raja.

Adityawarman, anak dari Dara Jingga, satu-satunya teman yang bisa ia ajak berbincang. Selain itu, tak ada lagi. Setelah Indreswari wafat, Jayanegara tak memiliki ibu lain untuk bisa mendengar keluh kesahnya. Hanya Adityawarman, yang selalu bisa mengerti Jayanegara dengan baik. Ada lagi, Ariswati, anak dari salah satu pejabat. Teman bermain Jayanegara hingga gadis itu harus pergi karena menikah dengan Ra Tanca.

Sampai pada akhirnya Raden Wijaya wafat karena penyakit yang diderita. Jayanegara dinobatkan sebagai Raja di usia yang masih sangat muda, 15 tahun. Gemuruh itu kian menggelora karena keputusan yang semata-mata. Banyak yang menentang Jayanegara sebagai seorang Raja. Keberadaanya sejak awal di dalam istana saja ditolak, dan kini pria itu malah menjadi ahli waris Raden Wijaya.

Lemahnya kepercayaan dan dukungan membuat Dharmaputra mencari kesempatan untuk memberontak pada Jayanegara. Menerbangkan berita burung yang buruk, dan membuat citra Jayanegara bercacat celah kian menjadikan pria itu seperti tikus di dalam perangkap. Dan karena kemelahan tanpa dukungan itulah yang membuat Mada menganggap Jayanegara tak layak.

Sejauh itu yang diceritakan Adityawarman. Laras tak bisa menyalahkan siapapun. Mereka hanya benar pada sudut pandang mereka sendiri.

Tribhuaneswari benar karena dia adalah permaisuri utama, ketidak mampuannya memberikan keturunan bukan sebuah dosa besar. Dharmaputra benar karena mereka hanyak tidak ingin Jayanegara merusak budaya dan adat Majapahit. Mada benar karena ia hanya tak ingin Majapahit kian menerima kemerosotan. Dan Gayatri benar karena dia hanya ingin meminta keadilan untuk kedua putrinya.

Namun, bukan begitu caranya memperlakukan seorang anak laki-laki yang kesepian. 

"Apakah ada yang menganggu pikiranmu, Laras?"

Gadis itu terkesiap. Kepalanya tergeleng pelan sembari mengulum bibir. Dia tak menyangka jika Jayanegara telah melalui kesedihannya sendirian dengan fase yang bermacam-macam. Lelah tak pernah ia gaungkan sekalipun itu pada Adityawarman. Istana pada akhirnya menumbuhkan seorang anak laki-laki yang tertutup nan enggan membuka suara.

"Tidak ada, Yang Mulia." Laras masih bersimpuh di tepi sungai, memandang pada pantulan dirinya yang bersebelahan dengan Jayanegara. Tidak serasi. Laras tidak pantas untuk menjadi seorang pendamping Raja.

Kembali bibirnya tergigit pelan ketika telapak tangan kasar Jayanegara menyentuh punggung tangannya yang membawa abu mendiang Wira. Tangan mungil Laras seakan nyaris tenggelam ke dalam dominasi Jayanegara. Tangan pria itu menuntun Laras untuk berayun ke bawah menyentuh air; melarungkan abu adiknya, dan berdoa pada Sang Hyang Karsa setelahnya.

Keduanya kemudian hanya terdiam tanpa berniat menggerakkan bibir. Otak Laras begitu terbebat oleh segala kerumitan jalan pikirannya sendiri. Ekor matanya melirik pada Jayanegara yang dengan tenangnya memandang riakan air. Bagaimana caranya Laras menolak dan membohongi perasaanya sendiri. Sulit.

"H-hamba ..." Laras berucap dengan penuh keraguan. "... Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba tidaklah pantas untuk menerima apapun dari Anda, termasuk, perasaan Anda,"

Jayanegara menolehkan kepalanya pada Laras. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"

Laras mengumpulkan sepekat keberanian sebelum membalas sepasang iris kelam Jayanegara. "Seorang permaisuri adalah simbol dan penggambaran wanita dari negaranya. Tentu haruslah memiliki pendidikan dan latar belakang yang setara dengan sang Raja. Dan ... hamba hanyalah seorang gadis biasa. Kasta dan posisi hamba jelas berbeda dari Anda. Darah wangsa Rajasa Anda terlalu agung bagi hamba, Gusti Prabu. Hamba hanya gadis biasa yang tidak memiliki apa-apa. Hamba ... tidak layak untuk menerima cinta Anda."

"Apakah selama ini aku peduli tentang itu?"

Laras berkedip. Hatinya berdesir tak karuan. Hanya seuntaian kalimat yang tak terlalu panjang berhasil mengatupkan bibirnya dalam sekejap. Tangan Jayanegara kembali meraih jemari Laras untuk ia genggam. Tak ada penolakan ketika ibu jari Jayanegara mengusap punggung tangan Laras dengan penuh kelembutan.

"Jika nanti aku harus menjadi rakyat biasa saat bersamamu, itu tidak masalah. Gelar dan takhta, aku bahkan tidak menginginkannya sejak dulu. Meninggalkan singgasana dan menghabiskan sisa hidupku untuk melukis bersamamu, aku rasa, aku akan dikaruniai umur yang panjang karena itu. Karena bagiku, rumahku bukanlah kemewahan istana, atau kemegahan Majapahit. Rumahku adalah kau, Laras."

Jayanegara mengangkat tangan Laras untuk bisa ia kecup. "Kau tak perlu menderita untuk menjadi salah satu bagian dari istana. Kau tak boleh menangis karena tinggal di dalam istana. Kau tak akan pernah berkedudukan sebagai selir, karena kau adalah satu-satunya wanita utama yang akan kupunya. Biarkan aku yang menghampirimu sebagai seorang pria, bukan seorang Raja. Aku bersedia menurunkan kastaku, Laras. Aku bersedia untuk meninggalkan mahkotaku. Biarkan aku menghampirimu sebagai seorang seniman waisya."

Laras menundukkan kepalanya tatkala Jayanegara kembali mengecup punggung tangannya. Setiap tuturan pria itu membuatnya terenyuh dan nyaris kehilangan akal. Jari-jari Laras yang mengerat untuk menahan tangisan membuat Jayanegara dengan perlahan merengkuh tubuh gadis itu. Betapa lembutnya ketika Jayanegara mengelus kepala Laras yang terbenam dalam pelukan.

Bibir Jayanegara mendekat pada telinga Laras, ia berbisik di tengah isakan gadis itu yang tertahan. "Kau harus tahu jika aku sangat mencintaimu, Laras."

Laras menerima setiap sentuhan yang pria itu berikan untuk mengungkapkan ketulusannya dalam diam. Membiarkan bagaimana tangannya yang kokoh membelai kepalanya dengan penuh perhatian. Tidak ada yang lebih menenangkan dari bagaimana pelukan Jayanegara itu yang membalut hati.

Gadis itu perlahan melepaskan tautan keduanya. Matanya yang sudah berlinangan menengadah pada Jayanegara. Seulas senyum terpatri dengan elok dan sempurna. Jauh dilubuk hati Laras, dia sudah terlebih dulu mencintai Jayanegara. Binar netranya kini tak bisa menipu perasaanya sendiri. 


──Ⲋꫀᥒjᥲ ᥙᥒtᥙk Ꭻᥲᥡᥲᥒꫀgᥲɾᥲ──


JAYANEGARA ✓Where stories live. Discover now