1

53.3K 1.2K 18
                                    

Wanita berbaju biru dan berkerudung merah muda itu akhirnya sampai dihadapan pintu yang terbungkam, ruang rawat kakak lelakinya.

Nama wanita ini adalah Anastasia. Ia sesegera mungkin menarik handle pintu dan masuk dengan perasaan cemas.

Ia dekati sang kakak yang terbaring lemah diatas kasurnya lalu menangis sejadinya. Ia mulai berbisik.

"Mas.... Mas Reno. Cepat sembuh ya mas, aku enggak mau ngeliat mas kayak gini terus. Tadi aku denger katanya mas kecelakaan, terus aku langsung cepet-cepet ninggalin kerjaan aku dan datang kesini. Aku takut mas. Aku takut mas kenapa-napa." tangisnya dengan air mata berjatuhan.

"Mas tahu kan, kita cuma tinggal berdua, ibu dan bapak udah enggak ada. Masa mas mau ninggalin aku gitu aja? Nanti aku sama siapa hiks?" tangisnya mengisak berat.

Namun dengan sangat mengejutkan, dirinya tiba-tiba mendengar bunyi pendeteksi jantungnya yang semula berbunyi biasa kini datar.

Ana pun kaget dan langsung menghentikan tangisnya seketika, ia secepat mungkin keluar dari ruang rawatnya dan panggil dokter.

Sekembalinya dari sana, ia membawa sang dokter beserta para susternya. Dokter itu langsung memperkenankan Ana untuk segera keluar dari ruang rawatnya lalu menyerahkan masalah itu pada mereka.

Ana menurut, pintu ditutup. Ia lihat dijendela, dokter itu sedang sibuk memberi alat kejut listrik ke dada sang kakak berkali-kali. Ana merasa sangat cemas atas hal ini.

Ia duduk di kursi tunggu dalam keadaan menangis. Reno adalah satu-satunya keluarga dan harta terakhir yang ia miliki, setidaknya.... Bukankah ini merupakan hal yang wajar untuknya menangis sedih seperti itu.

Ia takut, ini akan menjadi ketiga kalinya ia ditinggalkan orang terkasihnya.
Ia merupakan adik perempuan yang manja, ia juga tampak sangat dekat dengan sang kakak, mereka saudara yang kompak tapi mirisnya sesuatu berakhir dalam keadaan seperti ini.

Ia sangat berharap kalau kakaknya bisa segera pulih dan sembuh, supaya mereka bisa saling mengobrol dan bercanda tawa lagi bersama.

Reno dikatakan tidak sadarkan diri karena mengalami kecelakaan kerja di tempatnya bekerja, membutuhkan penanganan yang cukup serius bagi pihak rumah sakit yang menanganinya bahkan diharuskan mendapatkan tindakan operasi secepatnya.

Tapi sayangnya Ana tidak memiliki uang untuk melanjutkan perawatan kakaknya ke tahap operasi, ia bahkan sudah meminta pertanggung jawaban kepada pihak perusahaan kakaknya bekerja.

Tapi mirisnya ada peraturan kerja yang telah ditandatangani kakaknya sebelum bekerja kalau sewaktu-waktu dirinya mengalami kecelakaan kerja hanya akan mendapatkan uang penggantian sekian juta saja.

Dikarenakan itu adalah perusahaan yang tidak terlalu besar dan masih belum memiliki aturan yang relevan layaknya perusahaan lainnya.

Ana merasa bingung, apalagi beberapa waktu lalu setelah kejadian kecelakaan itu terjadi dirinya masih dalam keadaan bekerja di Jakarta, sedangkan kakaknya mengalami kecelakaan kerja di perusahaan cabang yang ada di daerah Bandung dan dirawat didaerah yang sama juga.

Ditambah masih dalam keadaan tanggung bulan juga, isi kantungnya menipis dan stok makanan kosong, ongkosnya bolak-balik bekerja sudah tinggal sedikit. Ia sangat kebingungan.

Apa sebenarnya yang harus ia lakukan, padahal disaat yang sama sang kakak memerlukan penanganan khusus secepatnya.

Ia pun memutuskan untuk meminjam uang kepada salah satu teman kerjanya digabung juga dengan meminta uang kasbon kepada sang pemilik toko tempat dirinya bekerja.

Ana segera pergi menuju Bandung dengan keadaan memegang uang sekitar 5 jutaan.

Tapi sayangnya setibanya disana ia langsung ditagih oleh uang dua puluh juta rupiah untuk biaya pengobatan disertai juga operasi yang harus dirinya bayar secepatnya supaya bisa diberi tindakan untuk sesegera mungkin melakukan operasi.

Terlebih ia hanya memiliki biaya 5 juta, sedangkan 15 juta lagi ia harus dapatkan dari mana?

Ia mencoba berpikir keras saat ini, mencoba cari cara, apakah dengan meminjam uang kembali?

Tapi itu adalah hal yang mustahil, kemana dirinya harus meminjam uang dalam waktu yang singkat sedangkan di Bandung ia tidak memiliki siapapun?

Bahkan sekalinya ke Jakarta pun ia tidak memiliki saudara dekat yang mungkin bisa dirinya pintai pinjaman uang.

Ia coba untuk shalat terlebih dahulu di musholla yang berada tak jauh dari sana, sambil berdoa dirinya memohon kepada tuhannya agar mendapatkan solusi dan jalan terbaik untuk kesembuhan sang kakak.

Selesai berdoa, dirinya sibukkan diri melipat mukenanya, kedua matanya berpaling cepat melihat dua anak kecil, perempuan dan laki-laki yang saling kejar-kejaran dihadapannya.

Tanpa sadar air matanya perlahan jatuh dan membuatnya kemudian terduduk lalu mengisak kembali.

Ia teringat dengan masanya ketika dulu masih kecil, saat bermain lari-larian bersama sang kakak dan merasa sangat bahagia di hari itu.

Hari ketika semuanya terasa begitu lengkap, dimana ada kehadiran ibu, ayah dan kakaknya didalam hidupnya.
Masa-masa yang begitu amat dirinya rindukan.

Hingga sampai membuatnya sulit untuk menyudahi tangisannya.

Hari dimana.... Diriku teringat dengan masa-masa itu, lalu dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit yang memungkinkanku untuk berjuang lebih keras lagi demi untuk mempertahankan apa yang masih tersisa didalam hidupku...

Aku harus kuat... Aku harus bisa...
Ana kemudian beranjak pergi dari sana dan tak sadar kalau sedari tadi dirinya menangis. Keluar dari musholla, ia berhenti didepan sebuah minimarket dan duduk disana, sembari menyeka air matanya dan melipat mukenanya masukkan ke dalam tas. Ia sesegukan.

Ia terus diperhatikan oleh seorang wanita berjaket merah yang juga baru selesai shalat dibelakangnya.

Ia pun sesegera mungkin mengekori Ana menuju ke depan musholla, ikut memakai sepatu disebelahnya.

Tak lain wanita muda yang lebih tua dua tahun diatasnya ini bernama Sella. Dirinya memperhatikan dengan baik bagaimana sedihnya Ana saat itu dan lebih ke arah penasaran dan simpatik.
Ia kemudian memberanikan diri menawarkannya sebuah tisu.

Ana terkejut dan mau tak mau langsung menerimanya. Meski ia benar-benar tidak menyangka dan lantas memberikannya senyum tipis. Menyudahi tangisnya seketika.

"Kalo kurang bisa nambah lagi kok, saya punya banyak stoknya." ucap Sella membuat Ana lantas tertawa tipis.

"Makasih mbak." balas Ana menyeka air matanya dengan segera.

"Emang masalah apa yang membuat kamu sampai nangis kayak gini?" tanya Sella.

"Aku perlu biaya mbak, buat bayar operasi kakak saya tapi aku gak punya... biaya hehe... Jadinya mewek deh hehe." ucapnya sedikit terkesan pilu membuat jadi ikut Sella prihatin.

"Oh, kamu perlu biaya ya, butuh berapa emang?" tanya Sella.

"Sekitar lima belas juta. Bahkan aku disuruh mendapatkan uang itu dalam jangka waktu 1-2 hari ini. Sedangkan di daerah ini aku tidak memiliki siapapun, aku juga meninggalkan pekerjaanku sebagai karyawan toko." ucap Ana.

"Loh, kenapa kamu enggak minjem aja ke bank? Nanti biar cicilannya kamu bayar belakangan." usul Sella.

Ana terdiam sejenak lalu kemudian bertanya.

"Emang bisa ya mbak?" tanya Ana.

"Bisa lah... Bisa banget dek. Persyaratannya cuma KTP, buku tabungan sama NPWP doang kok, ya kalo ada sih slip gaji juga." ucap Sella, Ana terdiam dan menahan kesedihannya.

"Tapi mbak, masalahnya KTP saya hilang. Waktu itu kecopetan dan belum sempat saya urusin di kelurahan." ucap Ana.

"Waduh, gimana dong ya?" ujar Sella ikutan bingung.

"Kalau bisa sih saya mau minjem uang dengan tanpa memakai syarat apapun termasuk KTP mbak, gimana caranya ya mbak." ucap Ana bingung.

Sella berpikir sejenak lalu menatap Ana serius.

"Aku punya kenalan, seseorang. Apa kamu berniat meminjam sama orang itu?" tanyanya, memicu kernyitan mata Ana.

"Siapa ya?" tanyanya.

Mafia Kejam Dan Gadis Yang Dijualnya [END]Where stories live. Discover now