46

5.4K 182 0
                                    

"Aku tetep harus kesana. Aku enggak bisa membiarkan ini begitu saja." ujar Ana yang kangsung pergi meninggalkannya, tapi sayangnya ia malah bertemu dengan Ferdi, ia menghalanginya untuk pergi.

"Nona mau kemana? Disini berbahaya!"

"Lepaskan aku! Lepaskan! Biarkan aku kesana. Silahkan kalian lakukan apapun yang kalian inginkan dan jangan halangi aku... Kalian apa tidak melihat ada begitu banyak korban berjatuhan, bahkan mayoritas mereka tidak tahu apa apa tentang hal ini." ujar Ana.

"Tapi nona bisa celaka."

"Saya tidak perduli..." ujar Ana memaksa pergi, lelaki itu masih terus menghadangnya. Bahkan ada bom molotov yang terlempar ke dekat Ana, Ferdi langsung menarik tangan dan membawanya menjauh.

"Nona apa anda tidak waras? Bagaimana kalau anda celaka! Kami disini untuk mempertahankan nama baik kami yang telah tercoreng, jika nona ikut ikutan menjadi korban tuan Alcyone pasti akan sedih... Dan apa yang kami lakukan ini akan bernilai sia sia baginya, kalau tidak begini juga caranya tuan Alcyone tidak akan pernah bisa keluar dari penjara, dan bahkan kemungkinan buruknya yang akan terjadi pada tuan Alcyone yaitu menerima hukuman mati. Apa nona mau melihat itu semua?!" tandas Ferdi.

Ana mengalihkan wajahnya. Terdiam.

"Saya tahu perasaan nona, dan saya memahami karena nona merasa seperti kalau tindakan kami ini salah. Tapi sejujurnya nona... Kami memang seperti ini... Nona tidak perlu mengerti, nona hanya perlu menutup mata saja dan berpura pura tidak tahu..."

"Aku tidak mengerti... Aku sungguh tidak mengerti..." ujar Ana.

Tiba-tiba seseorang menembakkan ratusan peluru secara membabi buta ke arah mereka, Ferdi melotot kaget apalagi saat peluru peluru melesat ke arah Ana. "Awas!" pekik Ferdi yang langsung mendorong tubuh Ana hingga mereka saling terjatuh.

Ferdi merundukkan kepala mereka. Peluru itu menghunus ke pohon dibelakang mereka.

"Nona enggak apa apa?" tanya Ferdi.
"I-iya aku enggak apa apa..."

"Nona harus segera pergi dari sini." ujar Ferdi.

Tiba-tiba saja satu sosok keluar dari pintu belakang, kedua mata Ana melotot tidak percaya melihat sosok yang sudah berminggu-minggu ini tidak dilihatnya muncul... Alcyone...

Dia dengan tangan diborgol lantas berjalan diiringi oleh satu kelompok orang yang mengelilinginya dalam jumlah yang besar. Mereka berjalan menjauh menuju pintu gerbang.

Tidak disangka Alcyone berhasil kabur?
Alcyone merasa jika ada orang memperhatikannya, ternyata itu Ana yang terus melihat ke arahnya.

Alcyone berniat akan berjalan ke arahnya tapi ada banyak polisi disekitarnya membawa senapan, itu hal yang sangat mustahil untuk mendekati dirinya.

Bahkan kini Ana berniat untuk maju menghadap Alcyone, tapi Alcyone langsung memekik mencegahnya.

"Jangan kesini!" pekiknya.

"Kamu tetaplah disana!"

"Eh?" Ana berhenti.

"Ana mungkin ini yang terakhir kalinya aku melihatmu... Dalam waktu yang lama aku tidak akan lagi bertemu denganmu!" pekik Alcyone.

"Kenapa mas? Kamu mau kemana?" tanya Ana sedikit memekik.

"Nanti saya telepon kamu... Tetaplah aktif nomornya! Suatu saat aku akan menghubungimu.... Jaga dirimu baik-baik dan anak kita... Tetaplah menjadi Ana yang kukenal... Aku mencintaimu....." ujar Alcyone tersenyum lirih.

Polisi melihat Alcyone dan langsung memberitahu teman-temannya untuk menangkapnya. "Semua! Itu dia!" pekik polisi menunjuk ke arah Alcyone.

Rombongan polisi menembaki ke arah Alcyone. Sayangnya terlalu tebal benteng pertahanan Alcyone, anak buahnya melindungi diri mereka dengan tameng yang baru baru ini mereka dapatkan.

Merapatkan barisan tiap mereka, melindungi Alcyone dan merundukkan kepalanya sedikit.

Ana tersenyum lirih. "Selamat tinggal... Alcyone..." ucap Ana. Ferdi berkata.

"Nona jangan disini, bisa bisa anda dijadikan umpan lagi sama mereka. Saya harap nona pulang sekarang dan kalau bisa untuk beberapa hari ke depan jangan ke rumah yang biasa, rumah kakak atau sanak saudara nona." ujar Ferdi.

"Iya."

Hari ke hari terlewati, Ana banyak menghabiskan waktunya ditemani oleh kakaknya, Ana berpindah ke Bandung, ikut dengan kakaknya.

Ana tidak berurusan dengan para polisi itu, Ana juga tidak berurusan dengan para mafia dan segala macamnya. Ana kembali menjadi wanita biasa yang tidak dikenal siapapun. Ia menepati janjinya.

Tanpa kehadiran Alcyone disisi. Tanpa bayang-bayang Rayyan. Dua pria yang sudah tidak lagi dihadapannya, telah menjadi kenangan didalam hatinya.
Disatu sisi Ana cukup menanti kehadirannya itu.

Di sisi lain ia juga harus menjalani semua ini sendirian dengan kandungan di perutnya yang makin membesar. Tak terasa sudah 7 bulan semenjak kepergian Alcyone. Hamilnya juga sudah terlihat.

Hari ini Hilma berkunjung ke rumahnya. Ia sangat tak percaya melihat Ana di usia kehamilannya yang sudah besar itu. Ia mengelus perutnya.

"Waaaa udah becaallll peyutnyaaa... Halo calon bayi... apa kabalnyaa.." ucap Hilma.

"Kamu kesini sendiri?" tanya Ana.

"Iya, lumayan jauh ya kalau naik mobil..."

"Iyalah, makanya kesininya bareng calon dong biar ada temen ngobrol... Eh iya calonnya kan ada disini hahaha." tawa Ana.

"Hilih masih aja lo ngejodohin gue sama dia. Gak abis-abisnya." ujar Hilma.

"Haha... Ayo dong nyusul, betah banget sendiri."

"Yee pepetin aja terus... Tahu dah yang udah punya... Ada dua lagi... Pertama Rayyan kedua Alcyone..."

"Ih mbak mah... Apa sih.."

"Lo udah bisa lupain Rayyan kan?" tanya Hilma. Ana tersenyum lirih.

"Enggak tau mbak... Emangnya kalo aku lupain mas Rayyan, mbak bakal seneng?"

"Ya senenglah, lo harus lebih melihat ke depan... Masih ada masa depan yang menunggu lo... Dan Alcyone menanti lo juga disana."

Ana tersenyum. "Iya mbak..."

"Oh iya, tapi lo udah enggak pernah ketemu lagi sama Alcyone?" tanya Hilma. Ana menggeleng. "Kapan ya dia mau balik lagi? Gue takutnya aja dia enggak pernah balik lagi... Nanti penantian lo sia sia... Ah gue takut aja..."
Membuat Ana jadi sedikit murung meski mencoba menutupinya dengan senyum.

"Oh iya kegiatan lo sehari hari apa disini?"

"Aku belajar menjahit mbak..."

"Oh ya? Wahh enak dong bisa jait... Nanti ada yang bolong bisa ditambel... Hati yang bolong bisa ditambel gak ya?" tanya Hilma membuat Ana tertawa.

"Apa sih, emangnya baju?"

"An, lo pokoknya harus semangat ya... Meskipun lo sendiri, lo pasti bisa menghadapi ini semua. Lo masih rutin minum obat kan?" tanya Hilma.

"Iya masih."

"Jangan putus pokoknya... Lo bisa dan lo kuat..."

"Makasih ya mbak..."

"Eh Alcyone sering menghubungi lo gak?" tanya Hilma.

Ana menggeleng.

"Kok enggak sih? Harusnya kan ngehubungin lo terus... Masa sekedar nanyain kabar juga enggak?"

"Enggak tahu mbak." ujar Ana menunduk.

"Lo dikasih nomor teleponnya gak?" tanya Hilma. Ana menggeleng.

"Kenapa ya... Kok kayak mutusin kontak gitu? Apa jangan-jangan... Ah kok gue jadi mikir aneh ya hehe.." ujar Hilma. Ana terdiam mengalihkan wajahnya.
Satu tahun kemudian.

Ana masih belum menerima kabar apapun dari Alcyone sejak dirinya menjanjikan ingin menghubunginya..... Dia... Memang benar-benar ingin melupakannya, bukan?

Ana tersenyum lirih menatap kaca jendela. Anaknya yang sudah tiga bulan masih tertidur di ranjangnya.

Seorang pria mengetuk pintunya. Ana segera berjalan menuju pintu depan dan buka, ia kaget saat membuka pintunya ternyata itu adalah Dimas. "Kamu? Kok bisa ada disini?"

Mafia Kejam Dan Gadis Yang Dijualnya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang