57 - Ice Skating

38.1K 3.6K 1.3K
                                    

Ghava terkesiap bukan main dengan jawaban Gibran. Tapi sepertinya dia bisa memahami mengapa Gibran memberikan respon seperti itu.

Menyadari kehadirannya tidak diinginkan sang Ibu, Ghava hanya lemas pasrah ketika tangannya diseret keluar dari gedung sekolah. Bibir pucat, tatapan kosong, Ghava berjalan ke arah parkiran untuk mengambil motor.

Sesekali cowok itu mengusap pipi yang dijatuhi cairan bening dari mata yang sebenarnya tidak ingin ia keluarkan sama sekali. Sakit hati? Jangan ditanya sehancur apa hati Ghava. Sakit itu tidak bisa dijelaskan lagi menggunakan kata-kata.

Tidak masalah jika tidak dianggap oleh Ayah, tapi kenapa harus Ibu yang tidak mengakuinya? Apakah Ghava memang tidak sepenting itu bagi Sitha?

"Arghhh!" kesal Ghava menendang kaleng di depan kakinya.

"Aw!" jerit seorang gadis ketika keningnya terkena lemparan kaleng.

Ghava memergik, segera menghampiri korban kekesalannya.

"Sorry, gak sengaja!"

"Sialan lo! Gimana kalo gue tendang pala lo dan bilang gasengaja jug-"

Ratu langsung bungkam begitu mengangkat wajah dan menyadari siapa di hadapannya.

"K-kok lo bisa sampe sini? Jakarta Sukabumi bukannya jauh?" gumam gadis itu.

"Kita kenal?"

"Mungkin lo gak kenal gue, tapi siapa, sih, yang gak kenal ketua Renzio? Lo kak Ghava, 'kan?"

Ghava mengangguk. "Emang Geng gue seterkenal itu sampe-sampe orang luar kota pada tau? Perasaan gak juga."

"Gue Ratu Annabella. Pernah sekolah di SMA Lentera, satu angkatan sama Leona. Lo pasti kenal Leona, 'kan?"

Diam sejenak, Ghava berusaha mengingat-ingat gadis di hadapannya yang wajah dan namanya tidak asing bagi Ghava.

"Lo yang udah ngasih tau Leona rumor kalo gue ngehamilin Fania, bukan?"

Bibir Ratu sedikit menganga, langsung ingat jika dia pernah mengatakan itu pada Leona sebelum pindah.

"Y-ya gue mau yang terbaik buat Leona. Gue liat dulu kalian deket banget, Leona harus tau tentang itu. Terus sekarang kalian masih deket?"

"Gara-gara lo gue sama Leona marahan, tapi karena itu juga satu sekolah tau kalo gue bukan cowok bejat kayak di rumor yang beredar."

"Maksudnya lo gak hamilin kak Fania?"

"Enggak lah, bego."

Rasa bersalah merasuk pada diri Ratu karena telah mempercayai berita simpang-siur tentang Ghava waktu itu.

Belum sempat minta maaf, Sitha lari kecil menghampiri Ghava. Menarik tangan anak lelakinya menuju tempat lebih sepi. Memicingkan mata, Ratu heran melihat wanita itu. Rasa penasaran mendorong Ratu untuk mengekori Ghava dan Sitha diam-diam.

"Maafin, Mama. Mama terpaksa gak ngenalin kamu," ucap wanita itu.

Ghava menepis tangan sang Ibu. "Mau dianggep atau enggak, gak ngaruh juga sama hidup gue."

"Ghava, jangan ngomong begitu ...." Sitha memeluk Ghava.

Dengan sekali pelukan, Ghava luluh. Matanya yang berkaca ia pejamkan untuk menikmati pelukan yang telah lama ia rindukan. Perlahan cowok itu membalas pelukan Sitha. Dia tumpahkan air matanya di pundak wanita itu.

"Kesepian, Maaa ... pura-pura dewasa itu gak enak. Ada saat di mana Ghava pengen nyerah, tapi gabisa."

Sitha mengusap lembut pundak Ghava, mendengarkan anak lelakinya meluapkan isi hati.

ALGHAVAWhere stories live. Discover now