71 - Bubar

44.8K 3.9K 1.5K
                                    

Masih trauma dan ada rasa ketakutan, Askar memilih duduk di mobil Polisi. Mobil ambulan tiba, dua orang petugas ambulan menggotong tandu lari menuju belakang.

Askar menatap orang-orang itu heran, lalu menghela napas kembali membenarkan posisi duduk untuk menenangkan diri.

Tidak berselang lama, dua petugas ambulan itu kembali dengan membawa seseorang di tandu mereka. Askar mengernyitkan kening, dia tidak bisa melihat wajah orang di atas tandu.

Ghava dan yang lain muncul, seketika Askar turun dari mobil menghampiri mereka.

"Kenzy mana?" tanya Askar menghadang Ghava.

Semua orang diam. Mereka menunduk dalam tidak berniat menjawab pertanyaan Askar. Lari kepada Femas, Askar meraih kedua lengan cowok berwajah pucat itu.

"Kenzy mana?" ulang Askar.

Femas mengangkat wajah, matanya menatap ambulan yang sudah berjalan.

"Ayo, antar Kenzy ke Rumah Sakit," ajak Ghava merangkul Askar.

Mereka menyusul Kenzy ke Rumah Sakit. Menyerahkan semua kekacauan pada pihak kepolisian.

Askar masih belum tahu bahwa Kenzy sudah tidak ada. Cowok itu terlihat tenang, sampai tibalah mereka di Rumah Sakit. Bukannya menuju UGD atau IGD, Askar kebingungan diajak masuk ke Ruang Mayat.

"Maksudnya?" sentak Askar berhenti di ambang pintu.

Femas kembali menangis memeluk Askar. "Kenzy udah ketemu sama Ibunya."

Askar tersengguk, melangkah mundur sambil geleng-geleng kepala. Tapi Elian meraih lembut tangan Askar, mengajak cowok itu masuk ke dalam Ruang Mayat.

"Setidaknya temui Kenzy untuk terakhir kali," ajak Elian.

Dengan digandeng Elian, Askar menghampiri brankar di mana terdapat tubuh tertutup selimut sudah terbujur tanpa nyawa di sana.

Askar menarik tangannya yang digandeng Elian. Deru napasnya semakin kencang.

"I gakuaaatt ...," gumam Askar menatap ke bawah.

Di waktu bersamaan seorang lelaki dewasa memakai kemeja hitam masuk Ruang Mayat. Dia Ayah Kenzy.

Femas berdecak, terkekeh miris melihat lelaki itu menangis saat mendekati brankar Kenzy. Perlahan lelaki itu membuka selimut yang menutup wajah sang putra, setelahnya seluruh tubuh langsung lemas.

"Ngapain nangis? Kayak selama ini perduli aja sama Kenzy. Meski Kenzy gak pulang berbulan-bulan, mana anda perduli?" cecar Femas.

Fikram menyentuh pundak Femas agar cowok itu tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Femas membalas tatapan Fikram tidak perduli.

"Asal anda tau, bahkan sampai akhir hayatnya anda tetap menjadi orang yang paling dibenci Kenzy!"

"Femas, udah," tukas Ghava.

Mendengar itu rasa sesal semakin menyelimuti, tangis Ayah Kenzy tidak terbendung lagi. Lelaki itu memeluk erat tubuh kaku sang anak.

"Maafin Papa, Kenzy. Sebagai seorang Ayah, Papa terlalu egois. Harusnya Papa mencari kamu, tapi Papa lebih memilih menunggu kamu pulang dan meminta maaf pada Papa. Tapi sekarang Papa sadar, yang salah Papa, harusnya yang meminta maaf adalah Papa," ucap lelaki itu penuh sesal.

Ayah Kenzy menghadap Ghava, mengamati semua orang yang ada di Ruang Mayat.

"Terima kasih sudah memperlakukan Kenzy dengan baik. Saya sadar, saya bukan Ayah yang baik. Saya tidak bisa menjaga anak saya."

"Sebenarnya penyesalan ini udah telat. Tapi apa boleh buat, semua terlanjur terjadi. Saya harap kehidupan malang Kenzy tidak dialami oleh anak Om yang lain," jawab Ghava sopan.

ALGHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang