Prolog

5.7K 162 57
                                    

Seorang gadis berambut hitam legam terlihat tengah mengerjap-ngerjapkan kedua matanya tatkala cahaya lampu dari ruangan yang di tempatinya memasuki indra pengelihatan. Iris mata cokelat itu kini beralih menatap seorang laki-laki yang setia menggenggam tangannya. Sebuah alat infus terdapat pada tangan yang digenggam laki-laki itu. Ia merasakan seluruh tubuhnya pegal dan nyeri. Perlahan, ia menggerakkan jari-jemarinya—membuat laki-laki itu terbangun dari tidurnya.

Senyuman manis terukir jelas di wajahnya yang tampan, sepertinya ia sudah lama tertidur di atas ranjang rumah sakit ini sehingga sosok itu terlihat semakin tampan saja dengan lesung pipi yang menambah kesan manis di dalam dirinya. Iya, gadis itu adalah Bella, atau lebih tepatnya Senja Zetana Arabella. Ia baru menyadari bahwa beberapa waktu yang lalu dirinya mengalami kecelakaan hingga membuatnya harus berakhir di rumah sakit ini.

"Aku panggilin dokter dulu, ya."

Bella menahan pergelangan tangan Jingga seraya menggelengkan kepalanya dengan begitu pelan. Kemudian Bella berusaha untuk bangun dari posisinya. Tidur terlalu lama ternyata membuat tubuhnya terasa lelah.

Jingga membantu Bella menemukan posisi duduk ternyamannya kemudian tangannya bergerak untuk melepaskan masker oksigen yang terasa mengganggu bagi Bella.

"Udah berapa lama aku tidur?"

Jingga tampak berpikir, berusaha mengingat kembali saat-saat gadis itu tak sadarkan diri. "Sekitar satu bulan lebih kayaknya."

"Berapa banyak materi yang ketinggalan? Ini udah kelas 12 lagi, gimana bisa aku dapet SNM kalo nilai aku ada yang kosong?" Bella mengerucutkan bibirnya, membuat Jingga mengelus puncak kepalanya lembut dengan tangan yang menggenggam erat salah satu tangan Bella.

"Bisa, kok. Kamu masih punya waktu buat ngejar. Nanti aku bantu kamu mahamin materinya."

Bella mengangguk, itulah keuntungan mempunyai pacar berotak pintar bahkan, melebihi kepintaran dirinya.

"Ga."

"Kenapa?"

"Kamu baik-baik aja, "kan?"

Jingga terkekeh, "Aneh. Ada juga aku yang nanya gitu."

"Selama aku tidur, aku mimpi aneh banget, Ga. Aku mimpi kamu meninggal dan nggak lama setelah kamu meninggal aku juga ikut meninggal gara-gara kecelakaan, semuanya bener-bener kayak nyata, Ga. Aku pikir semua itu emang bener. Tapi, ternyata cuma mimpi."

Bella menghembuskan napasnya. "Kamu nggak sakit apa-apa, "kan? Nggak nyembunyiin apa-apa dari aku, kan?"

"Enggak, kok. Mimpi kamu serem banget." Jingga tertawa pelan.

Tak lama kemudian pintu ruangan terbuka, menampilkan beberapa makhluk yang siap membuat suasana sepi tergantikan dengan kericuhan.

"Woy, Bella! Lo udah sadar diem-diem bae! Bukannya telepon Adeeva yang cantik jelita, "kan gue udah kangen berat sama lo, Bell."

"Heh, ingus biawak! Temen lo baru sadar mana sempet nelepon-nelepon!"

Adeeva hanya memutar bola matanya ketika mendengar Kenzie kembali mengibarkan bendera peperangan.

"Tau nggak, Bell? Si kunyuk Jingga sok-sokan galau selama lo sakit, tiap hari ngerengek sama gue. Hampir aja dia mau pindah haluan jadi homo saking seringnya nempel sama gue."

Jingga menoyor kepala Kenzie. "Sembarangan aja! Nggak selera gue sama lo!"

~Jingga dan Senja~

Bella merapikan berbagai peralatannya dan memasukkan ke dalam sebuah ransel berukuran cukup besar. Hari ini dokter sudah memperbolehkan Bella pulang, mengingat kondisi kesehatannya sudah membaik.

Jingga dan Senja 2 [PROSES REVISI TANDA BACA]Where stories live. Discover now