20 • Kejadian di Malam Hari

544 49 2
                                    

"Cinta itu memang bisa membuat orang menjadi bodoh, maka dari itu aku memilih untuk tetap mencintaimu meskipun belum tentu berpotensi akan memiliki."

~Jingga dan Senja~

Jingga memasukkan kedua tangannya pada saku yang terletak pada sisi kanan dan kiri hoodie-nya. Ia terus berjalan sembari menundukkan kepalanya dan sesekali menendang batu kerikil yang terdapat pada jalan yang ia lalui. Udara malam ini terasa seakan menusuk tulang namun ia tidak memutuskan untuk kembali ke rumah karena ternyata berada di tempat sepi dengan semilir angin cukup kencang bisa membuat pikirannya menjadi tenang.

Kedua mata Jingga menyipit ketika tidak sengaja menangkap dua makhluk berlawanan jenis tengah melakukan perbuatan tidak sepantasnya di bawah sinar lampu yang temaram. Dengan cepat, ia menghampiri lokasi kejadian dan langsung melayangkan tinjunya pada laki-laki brengsek tersebut sehingga membuat perempuan itu berteriak.

Jingga menatap tajam ke arah perempuan itu dan menarik tangannya untuk menjauhi laki-laki yang saat ini tengah tergeletak lemah di jalanan. 

"Jingga, gue tadi cuma--"

"Apa yang lo lakuin?!" Jingga meninggikan suaranya, tidak pernah sekali pun ia membentak seorang perempuan tetapi karena yang dilakukannya itu benar-benar salah, ia tidak dapat menahan emosinya lagi.

"Lo suka diperlakukan kayak tadi?!"

"Perempuan itu seharusnya bisa melindungi diri! Bukannya malah ikut senang ketika diperlakukan yang nggak pantas!"

"Pake ini! Baju lo terlalu terbuka." Jingga menyerahkan hoodie yang dikenakannya.

Stella mengambil hoodie berwarna hitam milik Jingga dengan tangan sedikit gemetar kemudian mengikuti perintah Jingga meski sebenarnya ia merasa malu dan takut terhadap Jingga.

"Kenapa lo bisa ada di sini?"

"Di dekat sini ada club, gue biasa di sana dan laki-laki tadi minta di tempat sepi."

"Lo sering ngelakuin itu Stell?"

Stella mengangguk pelan, membuat Jingga menghela napasnya sembari memejamkan matanya agar ia tidak sampai berteriak kepada Stella lagi.

"Kenapa?" tanya Jingga dengan suara yang lembut.

"Apa? Emangnya lo peduli sama gue? Lo cuma peduli sama Bella kan? Jadi mau gue ngelakuin apa aja, ya itu bukan urusan lo!"

"Tapi itu nggak baik Stella!"

"Gue tau tapi gue nggak peduli!"

"Setelah ini lo pasti akan merasa jiji kan sama gue? Lo pasti akan menatap gue sebagai perempuan murahan."

"Nggak."

Stella menarik satu sudut bibirnya. "Nggak usah sok baik."

"Berhenti ngelakuin hal kayak gitu Stella!"

"Kenapa? Gue bahagia sama pekerjaan gue."

"Pekerjaan?"

"Iya, gue seorang pelacur! Kenapa? Menjijikan?"

"Tapi kenapa Stella?"

Stella diam kemudian menundukkan kepalanya. Satu tetes air mata mulai jatuh dari pelupuk matanya hingga akhirnya berubah menjadi isakan, membuat Jingga menjadi serba salah sendiri.

"Stell, jangan nangis."

"Semenjak orang tua gue cerai, kehidupan mama jadi berubah drastis, setiap hari dia selalu pulang dalam keadaan mabuk dan bersama laki-laki yang berbeda. Mama juga jadi tempramen banget, mama jadi kasar dan nggak pernah peduliin gue. Waktu gue masih SMA, mama membawa gue ke salah satu club dan gue disuruh melakukan hal yang nggak-nggak karena bayarannya mahal. Semuanya udah terlanjur Ga! Jadi gue pikir buat apa gue berhenti, toh laki-laki sempurna di luar sana juga nggak akan ada yang mau sama cewek murahan kayak gue."

"Gue itu pelacur Jingga! Gue menjijikan! Dan nggak sepantasnya gue duduk di bangku perkuliahan!"

"Nggak Stella! Lo bukan pelacur! Bukan, lo itu Aileen Auristella, seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, lo pinter dan lo cocok berada di sana, bukan di club. Lo itu calon dokter Stell, lo bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi ketika lo berhasil menjadi Sarjana Kedokteran."

"Mulai sekarang, gue mohon lo berhenti ngelakuin ini ya?"

Stella menghapus air mata yang masih mengalir di pipinya. "Gue nggak tau."

"Stell! Ada banyak hal bermanfaat di dunia ini yang bisa lo lakuin, kalo lo kekurangan biaya lo bisa kerja di tempat lain, meskipun pendapatannya nggak seberapa."

"Lo kasian kan sama gue Ga?"

"Gue peduli karena lo temen gue."

"Berarti lo kasian sama gue. Kalo lo kasian wujudkan permintaan gue."

"Dan lo mau keluar dari dunia lo itu?"

Stella mengangguk singkat.

"Apa?"

"Terima cinta gue, kita pacaran dan jauhin Bella."

"Nggak akan."

"Kenapa? Lo pasti malu kan pacaran sama cewek kayak gue?"

"Bukan gitu Stell, tapi maaf, gue nggak suka sama lo. Gue juga nggak bisa maksain hati gue buat menerima lo, lagi pula buat apa pacaran kalo nyatanya ada satu pihak yang nggak suka? Yang ada lo-nya juga yang bakalan sakit sendiri."

"Apa sih istimewanya Bella sampe bisa bikin lo sebegitu sukanya sama dia? Dia bahkan udah punya pacar tapi lo masih aja setia menunggu dia nerima kehadiran lo lagi, buat apa Ga? Buat apa?"

"Jadi cowok jangan bego, kalo udah jelas cewek itu menolak kehadiran lo ya nggak usah diharapin lagi."

Jingga mengangguk. "Pake kalimat itu juga buat diri lo."

Setelah itu, keduanya hanya diam kemudian Jingga melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, rupanya hari sudah semakin larut.

"Udah makin malem, udaranya juga nggak enak, mending pulang. Rumah lo di mana? Biar gue anter."

"Nggak perlu, gue udah biasa pulang sendirian malem-malem gini."

Stella melepaskan hoodie Jingga kemudian menyerahkan kembali.

"Kenapa nggak dipake?"

"Kayak gini lebih baik, nggak usah sok peduli sama gue karena gue nggak butuh kepedulian palsu lo."

"In kehidupan gue jadi lo nggak ada hak sama sekali buat melarang gue melakukan apa pun yang gue suka kecuali kalo lo mau jadi salah satu bagian dari hidup gue."

"Tapi nggak mungkin sih, secara lo itu kan sosok laki-laki yang sempurna, baik dan nggak punya banyak dosa sedangkan gue buruk banget, jadi udah pasti lo cocoknya sama Bella, karena kalian sama-sama manusia yang sempurna tanpa adanya dosa."

"Selamat menikmati rasa sakit yang Bella ciptakan Jingga, kalo lo udah capek bilang aja karena gue rasa gue juga akan sama kayak lo. Nggak akan pernah berhenti mencintai meski nyatanya belum tentu berpotensi akan memiliki."

"Gue duluan." Stella tersenyum tipis kemudian meninggalkan Jingga seorang diri.

Jingga menghela napasnya secara berulangkali, saat ini ia memilih untuk tidak langsung pergi, melainkan duduk pada bangku yang sebelumnya menjadi tempat duduknya dan juga Stella.

Jingga menoleh ketika mendengar suara tawa, satu perempuan dengan pakaian minim terlihat tengah berjalan bersama dengan seorang laki-laki, mungkin mereka berasal dari club yang dimaksudkan oleh Stella tadi karena hal itu pula, ingatannya kembali lagi pada kejadian di mana Stella tengah bercumbu dengan laki-laki dan mungkin saja di tempat lain ia pernah melakukan hal yang lebih dari itu. Bagaimana pun juga, Stella itu teman sekelasnya, ia tidak ingin melihat Stella terus-terusan menyelami dunia malam, ia ingin Stella bisa hidup seperti mahasiswi lainnya, tetapi tidak mungkin juga jika ia menuruti permintaan Stella.

"Gue harus cari cara lain karena gue nggak akan mungkin meninggalkan Senja."

Cinta itu bisa membuat seseorang menjadi bodoh kan? Maka dari itu, Jingga memutuskan untuk menjadi salah satunya, karena baginya tidak ada satu pun yang bisa menggantikan Senja-nya.

~Jingga dan Senja~

Na

Jingga dan Senja 2 [PROSES REVISI TANDA BACA]Where stories live. Discover now