22 • Panti Asuhan

506 47 0
                                    

"Bahagia itu sederhana, salah satunya adalah membuat orang lain tertawa."

~Jingga dan Senja~

Bella menatap kertas hasil pemeriksaan dari rumah sakit yang baru saja diberikan oleh Jingga. Ternyata laki-laki itu tidak berbohong karena memang hasil tes itu bukan miliknya dan isinya pun bukan tentang pemeriksaan terhadap penyakit melainkan kesehatan jiwa.

"Dokter bilang dari tes yang dilakukan beberapa minggu yang lalu, nggak ada gejala yang menunjukkan kalo Nata mengalami gangguan jiwa."

"Setelah melakukan tes observasi status mental, mulai dari sikap Nata, mood dan afeknya, pola bicara,  proses berpikir dan lain sebagainya, semuanya terlihat normal."

"Jadi sebenarnya Nata nggak memiliki gangguan mental apalagi gila?"

"Nggak."

"Lo kenal Nata dari mana? Kok bisa dia sama lo?"

"Waktu habis pulang kuliah, Nata nggak sengaja nabrak gue karena dia lari-lari kayak orang ketakutan gitu, dia juga masih pake pakaian rumah sakit, mungkin dia kabur dari sana. Pas gue tanya, dia kayak ketakutan gitu, gue mendekat dikit aja dia langsung teriak, seolah-olah gue ini orang jahat, tapi gue coba ngomong baik-baik sama dia, berusaha buat menenangkan dia dan akhirnya dia mau bicara sama gue."

Bella mengalihkan pandangannya ke arah Nata berada, saat ini ia sedang bermain bersama teman sebayanya. Bella bisa melihat bahwa gadis itu sangat bahagia, wajah tak pernah berhenti menampilkan keceriaan, sangat berbeda dengan Nata yang ia temui waktu itu.

"Nata cerita sama gue kalo dia selama ini pura-pura gila tapi ternyata dia menikmati itu."

"Senja tau nggak kalo ternyata Al itu kakak kandungnya Nata?"

Bella menolehkan kepalanya, kedua alisnya tertaut dengan kening sedikit mengkerut. "Kakak kandung? Bukannya cuma sepupu? Nata anaknya dokter Sinta dan dokter Sinta itu tantenya Al."

"Tapi Nata nggak bilang gitu, dia bilang Al itu kakak kandungnya, Al kasar banget sama kayak orang tuanya, setiap harinya Nata selalu diperlakukan buruk, dia bilang kalo dia capek sama kehidupannya makanya dia pura-pura gila biar berhenti dikasarin, biar dia bisa keluar dari rumah itu."

"Sampe akhirnya dokter Sinta merasa kasian sama Nata dan karena dia nggak bisa punya anak, jadilah dia menganggap Nata sebagai anak kandungnya, Nata selalu diperlakukan dengan baik, diberikan kasih sayang yang selama ini nggak pernah dia dapatkan, tapi suaminya dokter Sinta nggak suka karena dia merasa semenjak ada Nata di rumahnya, perhatian dokter Sinta sepenuhnya buat Nata, dia merasa seolah nggak dipedulikan lagi."

"Ketika dokter Sinta nggak di rumah, Nata dibawa pergi sama suaminya terus dimasukan ke rumah sakit jiwa. Awalnya dokter Sinta marah, tapi yang namanya istri kan harus nurut sama suami, semua orang menganggap Nata itu gila dan dokter Sinta nggak percaya, jadilah dia melanjutkan pendidikan dokternya dengan mengambil spesialis ilmu kejiwaan gitu, biar dia bisa membuktikan sendiri kalo Nata itu nggak kenapa-kenapa."

"Terus dokter Sinta udah membuktikan?"

"Nata nggak pernah mau, setiap kali dokter Sinta mau melakukan tes melalui wawancara atau observasi status mental gitu, Nata selalu nolak mati-matian, dia bersikap seolah dia memang udah kehilangan akal sehatnya, dia berteriak dan memukul-mukul sekitar gitu. Nata bilang, sengaja karena dia nggak mau kebohongannya terbongkar, dia nggak mau kalo harus pergi dari rumah sakit jiwa dan tinggal sama keluarganya lagi."

"Awalnya dia pikir dengan tinggal di rumah sakit jiwa dan berpura-pura menjadi orang gila, hidupnya akan bahagia tapi ternyata nggak, semakin hari Al semakin rutin datang ke rumah sakit buat sekadar berbuat kasar."

Jingga dan Senja 2 [PROSES REVISI TANDA BACA]Where stories live. Discover now