7 - Detik Penuh Kebisingan

401 73 39
                                    

INEFFABLE BY SISINKHEART

Instagram : @sisinkheart dan @hf.creations

****

Paling dekat dengan kesedihan

adalah mereka
yang selalu tersenyum

****

Satu orang saja berjalan di koridor sekolah atau membelah lapangan pasti menjadi sorotan apalagi ketiganya – Aaron, Devian, dan Rama berjalan beriringan. Mereka bertiga itu seperti Boys Before Flower, tetapi versi F3 saja.

Menggunakan mobil Aaron, mereka akan membeli keperluan praktikum kimia. Bahan-bahan itu mereka beli di daerah yang memang banyak toko-toko menjual kebutuhan pelajar SMA dan kuliah. Selain itu dekat dengan pasar juga jadi mudah jika semisal mencari bahan praktikum seperti cuka, deterjen.

"Toko tadi gak ada spiritus," ujar Devian. Spiritus merupakan salah satu bahan mereka cari.

"Di toko lain saja," ucap Rama memberikan minuman cappuccino yang tadi Devian pesan.

"Bukannya disediakan di lab yah?" Aaron berujar.

"Iya, tapi habis, kebetulan kelas kita pertama jadi disuruh cari sekalian." Devian tak habis pikir. Spiritus biasanya disediakan dari laboratorium kimia, karena spiritusnya habis, guru mereka meminta untuk membeli yang baru.

"Dari dulu, always kelas kita." Aaron merasa jika kelas mereka ini adalah kelas paling sering jadi kelinci percobaan.

"Berpikir positif saja, karena kita kesayangan guru." Rama dengan enteng menjawab.

"Kesayangan bener, sampai jam istirahat diambil, dah tau kantin cepat penuh." Devian mendramatisir perkataannya sendiri.

"Ya elah, tinggal beli di luar terus antar ke sekolah." Murid cewek di kelasnya sering pesan makanan di luar melalui ojek online padahal kepala sekolah sudah melarang. Tentu saja Aaron ikutan. Mana ada piza di kantin sekolah.

"Tajir sih, gampang ngomongnya," balas Devian.

"Lo juga sama ya anak pungut!" sahut Aaron.

"Ayah, anak bertengkar lagi." Rama geleng-geleng sembari menyeruput minumannya.

"Napa sih lo sebut gue anak pungut?" Sejak dulu, Devian selalu dikatakan anak pungut, kadang hal itu membuatnya kesal.

"Lo kan beneran gue pungut di jalan," sahut Aaron.

"Di jalanan kota Berlin, kan?"

"Najis upil kuda, gue mungut lo di gunung Rinjani!"

"Pilih kasih lo."

"Yang gue anggap bener-bener anak tuh cuma tiga, terus Arsya ibunya, lo anak pungut."

Perkataan Aaron itu membuat Rama menundukkan kepalanya dan tersenyum sendu. Aaron sendiri sama sekali tak sadar dengan ucapannya.

"Asli, bego banget Ayah satu ini," batin Devian. "Dahlah, kita cari spritusnya, habis nih gue mau makan sate capra aegagrus hircus," ucap Devian merangkul Rama. "Lo juga ya."

"Bilang sate kambing aja susah banget lo anak pungut, sok-sokan bege." Aaron jadi pengen traveling ke Berlin.

****

Akhirnya mereka tiba di toko menjual spiritus. Segera membeli dengan jumlah lumayan banyak, mereka membeli spiritus yang dihitung per liternya. Setelah itu, mereka tak langsung pulang. Aaron dan Devian singgah di toko peralatan olahraga untuk membeli bola basket baru.

INEFFABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang