24 - Kamus Yang Tak Percaya Diri

263 72 4
                                    


Maybe, true happiness
Is when we are happy with ourselves

****

Langkahnya pelan. Tidak banyak orang di sini, lebih tepatnya mulai sepi. Ia membuka perlahan pintu gedung olahraga indoor A. Di dalam, ia mengedarkan pandangannya, memastikan jika tak ada seorang pun di sana.

Ia menuju tribune, melempar jaket dan tas ke bangku. Rama mempercepat langkahnya menuju tempat penyimpanan bola basket. Perlahan ia pantulkan bola tersebut ke lantai, mencoba melakukan dribbling, tetapi ia terus gagal melakukannya dengan sempurna. Rama kemudian melakukan dribbling sambil berlari, tetapi berkali-kali bola basket tersebut lepas dari tangannya.

"Argghhh! Bangsat!!" Rama berdecak sebal. Diambil bola basket tersebut lalu ia lemparkan hingga terdengar suara keras karena bola itu menghantam bangku tribune.

Napasnya memburu, keringat dingin mengucur, ia menatap pada bola yang menggelinding cukup jauh dari posisinya berdiri. Ia melangkah pelan, sesaat kenangan itu terlintas dibenaknya. Bagaimana Rama kecil yang selalu berhasil mencetak angka dalam permainan basket, tetapi kini ia seolah asing. Ia sangat payah karena memegang bola basket saja membuat dirinya merasa sesak. Semua kenangan itu seolah menghancurkan setiap detik hidupnya.

"Ayo Ram, kamu bisa." Rama mengambil bola itu lagi. Kembali memantul-mantulkannya di lantai, lalu berlari menuju ring basket. Ia melompat, tetapi gagal. Tidak mau berhenti, Rama terus melakukan lemparan, entah melempar dari kejauhan, berlari dan melompat bahkan ia tidak peduli apakah cara yang ia lakukan benar atau salah.

Berapa kali pun berusaha, ia tetap gagal.

Rama menggigit bibirnya. Ia kembali bangkit, mengambil bola basket. Tidak peduli jika keringat sudah membanjiri tubuhnya, kepalanya yang berdenyut hebat, wajahnya yang pucat, kakinya yang merasa lelah. Ia harus menggapai apa yang ia inginkan. Namun, sayang takdir seolah membenci dirinya.

BRAGHHHH!

Hingga ia mencapai batasnya, Rama kehilangan keseimbangan, terjatuh di mana tubuhnya menghantam keras lantai. Rasa sakit menjalar hebat ke seluruh tubuhnya, tidak hanya itu, pergelangan kaki kanannya berdenyut hebat.

Kakinya terkilir.

Suara derap langkah kaki terdengar menghampiri. "Astaga, lo ngapain sih?!" ujar Arsya yang sedari tadi diam-diam memperhatikan Rama.

"Jangan gerak dulu, gue telpon Aaron. Biar dia–"

Rama mencegah Arsya sebelum membuka kontak panggilan. "Saya baik-baik saja, tidak perlu panggil siapa-siapa."

"Tapi Ram –" Perkataan Arsya terhenti saat Rama tiba-tiba saja berdiri. "Rama, kaki lo."

"Arsya!! Paham tidak sih!!" teriak Rama penuh penekanan.

Ia paksakan untuk berjalan menuju bangku tribune, mengambil tas dan jaketnya. "Saya mau pulang, kamu kembali saja sama Aaron dan lainnya," ujar Rama yang tanpa menunggu jawaban Arsya, ia pergi keluar gedung olahraga.

****

Aruna bersandar di sofa ruang tamu. Ia tidak bisa fokus membaca novel atau pun mengoreksi kuis mahasiswanya. Alasannya karena putranya belum juga pulang padahal jam sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam.

Kebetula ada hal yang harus diurus oleh Indra di luar kota. Jika Indra tahu hal ini, maka ia akan sangat marah pada Rama. Sebenarnya Aruna juga sedang dilanda amarah. Sore tadi, putranya berkata jika akan sebentar lagi pulang karena sedang mencari buku. Namun, hingga kini tidak juga putranya itu pulang, terlebih ponselnya tidak dapat dihubungi.

INEFFABLEWhere stories live. Discover now