61 - Special Chapter V

175 41 2
                                    

A Dream Of Ourselves

"Jika Semesta mengizinkan untuk mengulang waktu yang pernah kulalui, mungkin aku akan berusaha untuk tak pernah membuat janji satu pun dengan manusia manapun."

****

Rahwana menopang dagu, sudah beberapa kali ia menguap, suara guru matematika yang mengajar di depan bukannya membuatnya semangat seperti biasa, tetapi malah bosan. Beberapa temannya juga terlihat dalam keadaan yang sama. Ada yang tertidur pulas karena beruntung duduk di depan, ada yang menggambar di buku tulis dengan dalih mencatat materi, serta lainnya.

Pelajaran tambahan ini diberikan untuk persiapan Ujian Nasional nanti. Walaupun begitu, tidak ada yang benar-benar semangat untuk mengikuti kelas karena hari ini sangat mendukung untuk tidur. Padahal pagi tadi, anak-anak sangat semangat membahas hendak masuk SMA apa dan jurusan apa.

"Baiklah anak-anak, pelajaran hari ini kita sudahi, jangan lupa untuk membaca ulang materi agar kalian lebih paham. Jaga kesehatan juga, terima kasih."

"Terima kasih Bu!" Baru pada semangat menjawab.

"Rahwana ke warnet yuks," ujar Fikri dengan menaik-turunkan alisnya.

"Enggak," jawab Rahwana sembari memasang jaket hitamnya.

"Aelah, bentar aja, gak usah rajin amat belajarnya. Masih ada waktu kok." Fikri bersikukuh karena ia tahu jika Rahwana lumayan ahli bermain gim di warnet.

"Percuma lo ajak dia, dia kan harus belajar giat biar masuk SMA favoritnya," sambung Valdo lalu merangkul Rahwana, "gak usah dengerin tuh setan, mending lo belajar karna kalau gagal, lo sendiri yang rugi."

"Setan mata lo!" balas Fikri.

"Gue gak mau ke warnet bukan karna harus belajar ... gue pengen pulang cepat aja." Rahwana merasakan hal ini lagi. Sesak menyeruak yang gak ia pahami. Seolah ia takut jika waktunya hilang begitu saja padahal ada banyak hal yang ingin Rahwana lakukan.

Valdo dan Fikri diam sesaat. Lagi, ya benar, lagi. Akhir-akhir ini Rahwana memperlihatkan gelagat aneh, ia kadang melamun saat pelajaran, ia juga tidak membaca novelnya seperti biasa ketika ada waktu luang. Rahwana menimbrung kalau ada obrolan antara teman-temannya, ketika giliran Rahwana bercerita. Seolah ada hal yang ingin ia katakan, tetapi tak mampu.

"Kalau gitu lo pulang aja, mungkin lo capek jadi pengen istirahat, gue juga ngerasa capek banget karna dah mau lulus nih." Valdo menepuk bahu Rahwana lalu memberikan jempol.

"Bener, mungkin kapan-kapan kita main di warnet, habis UN juga gak papa, ya itung-itung hadiah sebelum perpisahan nanti."

Rahwana lalu tersenyum tipis, menepuk sekali bahu Fikri lalu ia melengos pergi. Berada di gerbang, mobil jemputannya datang. Sepanjang jalan, ia hanya menatap ke luar dengan pikiran entah ke mana. Seharusnya Rahwana berkata iya tadinya atau berjanji seperti biasa. Namun, kali ini, ketika Rahwana hendak berjanji, ada sesuatu dalam dirinya yang melarang ia berjanji. Seolah-olah, Rahwana takut jika tak mampu menepati janji tersebut.

"Gak mau dipikirkan, tapi semakin lama disangkal, semakin terasa bakal jadi nyata. Astagfirullah, jangan aneh-aneh deh otak nih."

****

Dingin masih saja menyelimuti, Rahwana baru saja selesai membuat teh panas, lalu ia tuang ke dalam cangkir. Di dekat teh itu ada beberapa potong roti dengan selai keju. Langkah kaki Rahwana terdengar ketika menuju balkon kamarnya, di sana ada Aruna yang tengah duduk di sofa sembari berfokus pada novel yang baru-baru ini ia beli.

"Dingin Bunda, gak di dalam aja?" Ia mendekati Aruna yang perlahan tersenyum sembari menoleh pada putranya itu.

"Bunda lagi pengen di sini, lagipula bukankah suasana yang bagus. Membaca novel saat hujan turun dengan secangkir teh spesial buatan anak kesayangan Bunda."

INEFFABLEWhere stories live. Discover now