28 - Kata Semangat

266 72 10
                                    

Sudah berharap setinggi langit
Eh, dianya biasa saja

****

Pernahkah kalian harus berpikir ribuan kali terlebih dahulu sebelum mengirim sebuah pesan? Entah karena takut mengganggu waktu lawan bicara, salah ketik yang takutnya menyakiti hati, atau pertama kalinya memulai suatu percakapan sehingga merasa ragu?

Shinta menatap ponselnya sedari tadi. Ia sudah berkali-kali mengurungkan pesan yang hendak ia kirimkan pada seseorang yang akhir-akhir mengusik pikirannya. Pesan ini tentu bukan untuk Azka yang baru saja sahabatnya itu mengoceh di grup chat karena nilai ulangan matematika. Bukan juga untuk pak Ilham yang tak ada niat bagi Shinta menjadi istri kedua.

Namun, untuk seorang lelaki yang memiliki senyuman secerah mentari terbit. 

Maksud dari perbuatan Shinta ini karena tak lama lagi cowok yang ia sukai itu – oke, kini Shinta spontan pada dirinya sendiri bahwa ia menyukai Rama – akan mengikuti lomba debat. Jadi, Shinta hendak memberikan semangat. Bukankah hal yang wajar jika Shinta memberikan semangat?

Wajarkan? Kalian harus setuju akan hal ini jika tidak, Shinta akan menampol kalian nanti! Ini paksaan!!

"Tinggal kirim Shinta, kok susah banget sih," ujar Shinta melempar ponselnya ke atas kasur. Ia kembali mengurungkan pesan yang hendak ia kirim pada Rama. 

Kini ia menatap langit-langit kamarnya. Entah bagaimana cowok itu perlahan masuk ke dalam dunia Shinta yang awalnya tak sedikit pun Shinta berpikir hendak membuka perasaan pada seseorang. 

Bukankah jatuh cinta itu hal yang ribet? Terlebih jatuh cinta pada dia yang disukai oleh banyak orang?

"Sial, gue baru aja jatuh cinta sama pangeran sekolah yang kata Ira, fans Rama tuh tajir, cantik, berbakat, selebgram. Apalah gue yang mau ngobrol aja kudu mikir sampe bejamur."

Shinta berbalik menatap pada meja belajarnya yang terdapat sebuah novel. "Ibarat, gue kayak salah satu fans dari sekian jutaan fans di dunia yang berharap di notice bias, tapi kagak kunjung ke notice juga, apa sih ngawur gue."

"Intinya, karna gue dah jatuh cinta sama Rama, berati gue juga harus siap sakit karna yang suka sama dia bukan cuma gue." Baiklah, kini Shinta tak hanya overthinking karena tidak bisa membeli album atau tiket konser, tetapi memikirkan kamus hidup. 

"Kalo bias kan keknya mustahil gue dapetin, tapi kalo Rama kan, kita satu Indonesia, satu iman, satu sekolah, sering ngobrol, walau beda perasaan... gak papa. Perasaankan bisa berubah, siapa tahu ada keajaiban terus dia suka sama gue!" Shinta langsung berubah ke posisi duduk yang tadinya berbaring di kasur. "Shinta, lo dah gila!!" pekiknya.

Shinta meraih kembali ponselnya, menatap pada sebuah aplikasi chatting memperlihatkan room chat dengan Rama yang kosong. "Lo dah punya nomer dia, tinggal chat aja apa susahnya!"

Baiklah, Shinta harus berani. Ia harus seberani Awan yang tidak takut menyatakan perasaannya secara spontan pada Hujan padahal Hujan memiliki sifat sedingin salju. Jika pada Rama yang memiliki sifat murah senyum dan baik hati saja Shinta tidak berani, apalagi kalau Rama yang dingin dan tak tersentuh?

Butuh berapa puluh chapter, pembaca harus kesal sampai kisah mereka berakhir bahagia?

"Oke Shinta, sebagai calon pacar yang baik. Aamiin. Lo harus bisa kasih dia semangat."

Shinta pun menulis sebuah pesan yang tidak terlalu formal, tidak terlalu bertele-tele, serta terkesan seperti orang wajar yang sedang memberi semangat. 

Hai Rama, ini aku Shinta

Aku dengar, kalau Rama ikut lomba debat

Jadi aku mau bilang, semangat untuk lomba nanti^^

INEFFABLEWhere stories live. Discover now