19 - Pelindung Sang Putri

270 68 31
                                    



Once upon a time

I saved my life

****

Shinta tidak bisa menjawab. Semua ucapan Rama benar-benar menusuk ke dadanya. Shinta tak bisa berbohong, ia berusaha menahan tangisnya yang entah kapan akan tumpah.

"Aa–aku gak manjat pagar."

"Terus?"

Shinta mengacak-acak ujungnya seragamnya. Terlintas sebuah pertanyaan dalam benak gadis itu. Kenapa Rama membuatnya berjanji pada hari itu, mengapa bukan orang lain, padahal ada ratusan murid di sekolah ini?

"Jawab pertanyaan saya."

Tidak bisa, bahkan sepatah kata pun tidak bisa Shinta ucapakan.

"Jawab pertanyaan saya, Shinta..."

"Aku terlambat, aku dihukum!" sahut gadis itu, matanya memerah.

"Alasan?" Rama menjeda perkataannya. "Lupa bawa tugas, laporan, buku paket?"

Semua ini memang salahnya. Ia begadang menonton drama, keesokan harinya, ia merasa kepalanya sakit. Membuat dia harus beristirahat sebentar sembari meminum obat karena itu sampai terlambat.

"Aku sakit kepala tadi pagi, makanya terlambat. Bukannya lebih bagus gitu dari pada gak masuk sekolah?"

"Kenapa sampai sakit kepala?" tanya Rama.

"Harus pakai alasan?"

"Harus saya ulang perkataan saya lagi?"

Namun, Shinta tak menjawab, Rama berujar kembali. "Alasannya karena begadang?"

Shinta mengangguk pelan, tangannya gemetar. "Kenapa?"

"Saya yang tanya–"

"Kenapa sih Kakak harus khawatir gini hanya karena aku terlambat? Sejak awal aku gak minta dikhawatirin kalau aku terlambat!"

Mereka berdua tidak sadar jika dari lantai atas, tepatnya area kelas sebelas. Ada seorang cowok yang menggunakan jaket merah agar wajahnya tertutupi menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Rama.

Senyuman cowok itu terukir menyeramkan. Salah tebakan jika cowok itu Aaron atau Devian. Karena cowok berjaket itu habis dari toilet sekolah untuk menyulut rokok dan bertemu kakak kelas perempuan.

"Wah, wah, suara yang familiar," ujarnya. Ia menatap ke bawah, tepat di mana Rama berdiri.

Kini ia bermaksud untuk membuat kepala seseorang di bawahnya pecah menggunakan pot bunga yang tak jauh dari jangkauannya.

"Tadi gak puas," ujarnya kembali, "mau taruhan bakal gegar otak atau tidak? Tapi kalau gini mah paling lebam doang."

"Gak bakal tahu kalau gak dicobakan? Mari buat orang pingsan."

Ia mengambil pot bunga yang cukup berat. Menjulurkan tangannya. Sembari mencari posisi yang paling tepat agar percobaan pertamanya benar-benar berhasil. Dirasa sudah pada posisi yang pas yaitu tepat di atas kepala Rama. Ia melepaskan pot bunga tersebut.

"Harusnya sejak awal, aku gak usah janji –" Shinta menggigit bibirnya.

Pot bunga berbentur dengan dinding. Suara aneh yang terdengar tersebut, sontak membuat Rama menarik lengan Shinta.

"SHINTA!!!" Rama langsung mendekap erat Shinta.

"Ka–"

BRAGGGHH!

INEFFABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang