63 - Special Chapter VII

189 50 6
                                    

Perpisahan Untuk Selamanya

"Banyak yang bilang kalau Tuhan akan menguji Hamba-Nya sesuai dengan kemampuan Hamba tersebut, terus mengapa rasanya tidak sanggup? Bahkan berkali-kali berpikir ingin mati saja."

****

Manik mata Rama perlahan terbuka memperlihatkan langit-langit ruang rawat inap yang terasa dingin ini. Ia merasa risi karena alat bantu pernapasan yang berada di hidungnya ini. Terlihat ruangan ini begitu sepi, tak ada seorang pun yang menunggunya. Apakah ia selamat? Apakah yang yang terjadinya hanyalah sebuah mimpi buruk belaka? Lalu mengapa sangat nyata. Bisakah seseorang menjawabnya atau katakan jika kakaknya juga baik-baik saja. Namun, mengapa? Mengapa tak ada Rahwana, mengapa kini ia hanya sendiri saja.

Tangannya terlihat diperban, begitu juga di beberapa titik wajahnya terdapat perban. Dokter mengatakan jika tulang rusuk Rama juga retak, beruntung tidak terlalu parah. 

"Kakak," ujar Rama, tetapi tak seorang pun menjawabnya, "Kakak mana, Kakak mana! Kenapa cuma aku sendiri!!"

Suara pintu terbuka kemudian, sontak Rama menoleh. Senyumnya mengembang, berharap penuh jika yang datang adalah Rahwana sembari membawa mainan baru dan cokelat untuk ia makan, tetapi harapannya runtuh karena yang datang adalah seorang perawat yang mendorong instrumen troli. 

"Halo Rama, kenalin saya perawat di sini, nama saya Aminah, nanti orang tua Rama segera ke sini yah, tunggu bentar lagi."

"Mana Kakak!" teriak Rama kemudian.

Perawat tersebut diam sejenak, ada terbesit kesedihan yang sangat Rama pahami. "Mana Kakak? Mana Bunda sama Papah, kenapa aku sendiri aja?!"

"Papah kamu bentar lagi ke sini, tunggu yah."

"Kalau Kakak?" Rama kecil itu tak bodoh, ia sangat paham jika perawat di depannya ini berusaha untuk mengelak pertanyaannya. Jadi apakah benar? Bohong!! Orang dewasa suka bohong di depan anak kecil agar menenangkan mereka. Perawat ini juga pasti berbohong bukan? Rahwana pasti bentar lagi ke sini lalu menemani Rama!

"Kakak mana suster! Kakak mana?!!!"

"Rama tenang dulu ya, jangan teriak-teriak, nanti sakit loh. Kamu harus banyak istirahat."

"Aku gak mau istirahat!! Aku maunya Kakak, suster! Panggil kakak ke sini, aku mau lihat dia! Aku mau main sama Kakak!"

"Nanti bisa main, tapi tenang dulu ya. Kalau teriak-teriak bisa sesak loh napasnya."

Rama menepis tangan tersebut yang hendak membenarkan alat pernapasan Rama. "Biarkan!! Biarkan sesak, agar kakak ke sini, pokoknya aku mau ketemu kakak!!" Rama berisi keras hendak turun dari ranjang pesakitan, tetapi perawat tersebut mencegah Rama. 

"Dek, jangan turun, kamu masih sakit, nanti tambah parah loh. Tunggu yah, bentar lagi-"

"ENGGAK MAU!!! AKU MAU SAMA KAKAK!! KAK RAHWANA! SUSTERNYA JAHAT!"

Rama terdiam sesaat ketika Indra akhirnya datang. Lalu tanpa pikir panjang Rama langsung berteriak kembali, "Papah!! Susternya larang aku ketemu sama kak Rahwana! susternya jahat! Pah, mana kakak, mana bunda?!"

"Maaf Pak, ini anaknya dari tadi ngerengek," ujar perawat tersebut, "dokter katanya agak terlambat karena masih operasi pasien lain."

Indra menatap sinis pada perawat tersebut, "baik, boleh pergi. Saya mau bicara sama anak saya dulu." Lalu Indra beralih menatap Rama dengan sangat dingin, seolah bukan tatapan seorang ayah yang biasa Rama kenal. 

"Baik Pak, saya permisi." 

Sepeninggalan perawat tersebut, Rama langsung melapor, "Pah, susternya jahat, aku tanya kak Rahwana dari tadi, dia gak jawab-jawab." Celingak-celinguk, Rama mencari keberadaan bunda dan kakaknya, "kok cuma Papah, kak Rahwana sama bunda, mana?"

INEFFABLEWhere stories live. Discover now