05. I Met Byan

10.2K 1.5K 190
                                    

Vote-mu lebih berharga daripada kelihatannya. Percayalah.

ⓛⓛⓛ


"Luna! Mau ikut?"

Otomatis dengan segala kesadaran yang ada, aku menoleh pada dia yang memanggil namaku.

Kaca mobil turun dari samping kananku. Lalu tak lama menampakkan seorang pria yang memegang setir mobil seraya tersenyum ramah dari dalam mobil yang aku kenal siapa orangnya.

"Byan!" seruku antusias. Bukan, bukan karena ia memberiku tumpangan. Tapi lebih ke rindu, karena dia dulu adalah teman dekatku. Naas, dia pindah ke Berlin untuk urusan bisnis.

Astaga, kenapa aku tidak tahu jika dia sudah di Korea?

"Ayo masuk! Jangan hanya bengong!" ajaknya. "Cepat, di luar panas."

Aku mengangguk cepat. Tak butuh waktu lama untuk aku membuka pintu mobil BMW 430i Convertible Sport, miliknya.

ⓛⓛⓛ

"Kau ini temanku bukan sih?" tanyaku sedikit sarkas.

Byan menoleh, "apa?"

Aku melihat dia dengan tatapan kesal.

"Kenapa tidak mengabariku kalau kau sudah di Korea?" kataku. "Padahal baru saja besok aku akan menjemputmu di Bandara."

Byan terkekeh-kekeh. "Hehehe, maaf. Kau tahu Luna. Aku sibuk, ini pun aku baru sampai. Umm, 20 menit yang lalu mungkin?"

"Serius? Kenapa tidak istirahat?" tanyaku khawatir. "Kau pasti lelah, 'kan?"

Byan menggeleng. Tak lama senyumnya kembali merekah. "Tidak, aku kuat, 'kan?"

Dasar, pria ini masih saja keras kepala.

"Jadi bagaimana pengalamanmu di Berlin?" tanyaku membuka topik.

Byan mengedikkan bahu. "Yah, tidak buruk. Di sana masih ada manusia."

Aku menatap kasar pada pria di sampingku, astaga. Selera humornya ternyata tidak hilang, dia masih saja suka bercanda. "Kau, astaga .... Aku serius."

"Aku malah lebih serius," ujarnya memberi pembelaan.

"Tentang di Berlin juga ada manusia? Tuhan, yang benar saja!" Byan hanya tersenyum geli tepat saat aku memakinya dengan kasar.

"Oke oke, baiklah," kata Byan "aku minta maaf. Hm?"

Astaga, hampir saja aku melompat dari mobil karena terperanjat oleh senyumannya yang manis. Gulali? Cih! Itu sih tidak apa-apanya. Dia itu uhm, bagaimana ya? Tampan tidak, manly? Tidak! Ah! Manis, dia itu manis, tipikal pria humoris yang bisa membuat lawan bicaranya nyaman ketika beradu kata dengannya.

"Ya sudah. Tapi lain kali kau harus cerita."

Aku mengangguk.

"Sekarang kau harus turun," katanya.

Bibirku terbuka. "Kenapa?"

Mr. Cold is My Husband Where stories live. Discover now