6. Kupu-kupu

7.8K 184 3
                                    

Jangan lupa untuk vote dan komen 🥰💚

***

Naira tidak dapat mengedipkan matanya sedetik pun saat Geo keluar dari kamar mandi. Pemandangan yang indah itu terlalu sayang untuk dihindari. Geo hanya mengenakan handuk kecil yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Perutnya tampak berbuku-buku seperti roti sobek namun tidak berlebihan sehingga enak dipandang.

"Nafsu ya lu?" cibir Geo sambil tersenyum nakal. Ia merasa Naira menatapnya seperti hendak menerkam.

"Pede banget! Orang gue lihat jam," ucap Naira sambil menunjuk jam dinding yang menggantung tepat di belakang Geo.

Geo berjalan mendekat tiba-tiba sehingga otot perutnya tepat berada di depan muka. Naira menelan salivanya, apakah Geo sedang mengujinya.

Lalu Geo mencubit pipi Naira dengan kencang."Tadi aja nangis kejer, sekarang malah suka lihatin kaya ginian," ucap Geo sambil tertawa karena wajah Naira yang pasrah.

Naira mendorong Geo kencang agar pipinya tidak dijadikan mainan lagi. Kemudian ia merebahkan diri untuk bersiap menyambut mimpi. Ia membelakangi Geo yang tengah berpakaian.

Tidak lama kemudian, Geo bergabung bersama Naira. Ia memeluk Naira dari belakang sambil meletakkan kepalanya di pundak. Hal itu membuat Naira tidak nyaman karena nafas Geo memberikan sensasi yang aneh di lehernya. Ia berbalik sehingga mata mereka bertemu. Geo tidak paham pelet apa yang Naira pakai. Rasanya ia seperti sudah lama mengenal Naira. Semua yang ada di dalam diri Naira membuat dirinya nyaman.

Geo semakin mendekat menghapus jarak di antara mereka. Kedua tangannya menyentuh hangat pipi Naira. "Bengkak banget kaya habis di sengat tawon," ucap Geo memperhatikan kantung mata Naira.

Naira mengerucutkan bibirnya."Jelek gak?"

Geo mengangguk pelan membuat mata Naira melebar dengan kejujurannya.

"Ih!" seru Naira mencengkram tangan Geo yang masih menyentuh pipinya. Geo meringis kesakitan sebab punggung tangannya memar efek membantai Boby habis-habisan.

"Sakit Nai," ucap Geo sambil meniup-niup punggung tangannya yang terasa nyeri.

"Eh ... kenapa?" Naira coba menarik tangan Geo.

"Kok sampai kaya gini?" tanya Naira heran. Ia jadi merasa bersalah.

"Gak tahu, pipinya Boby keras banget," ucap Geo dengan nada usil. Walaupun Geo merasa baik-baik saja, Naira tetap khawatir. Ia beranjak dari kasur untuk mengambil air dingin namun Geo malah mememeluk pinggang Naira dari belakang dan menariknya pelan agar tetap berbaring di kasur.

"Mau kemana sih? Waktunya tidur tahu," ucap Geo dengan lembut.

"Lukanya obatin dulu Kak," balas Naira.

"Gak usah, besok juga hilang."

Naira berdecak kesal mendengar Geo yang tampak meremehkan. "Luka lu yang kemarin juga belum di—" Naira tidak berani melanjutkan ucapannya karena Geo menatapnya tajam seolah-olah berkata bahwa ia tidak boleh membicarakan hal itu. Sorot mata yang tadi menghangatkan suasana berubah dingin dan mengintimidasi.

"M-maaf, gue gak boleh ungkit kejadian kemarin ya?" tanya Naira mendadak gugup.

"Kalau lu lihat gue kaya kemarin lagi, diamin saja...jangan dipeluk," ucap Geo santai membuat Naira lega. Ia kira Geo akan marah.

"Lu sering ngelakuin itu ya Kak?" Naira memberanikan diri untuk bertanya. Siapa tahu Geo butuh teman untuk bercerita.

"Baru sekali kok." Tentu Naira tahu ia sedang berdusta. Naira berpengalaman mengatasi permasalahan Geo. Orang seperti Geo tidak mungkin akan mengumbar hal itu dengan mudah. Apalagi Geo adalah laki-laki, yang kebanyakan mereka sulit berekspresi dan menceritakan apa yang mereka rasa.

Positif!Where stories live. Discover now