34. Naira Curiga

1K 48 0
                                    

Jangan Lupa Vote dan Komen

Aku double update lohhh

***

Laki-laki itu harus kuat dan harus menyembunyikan kerapuhannya. Lingkungan sosial yang bilang seperti itu. Jika laki-laki mengeluarkan air mata pasti dianggap lemah atau yang lebih ekstrim lagi dibilang banci.

Geo dan Kavi sama sama merasakan hal itu. Harus kuat dan terhukum hukuman tak tertulis bahwa mereka tidak bisa merasa sedih.

Waktu Geo tahu ibunya seorang mucikari, dirinya menahan beban itu sendirian, tidak cerita ke siapa pun. Kesedihan yang tertimbun tanpa pernah di keluarkan membuat dirinya terdiagnosis depresi. Semuanya menjadi lebih baik saat bertemu dengan Tasha, ia bisa bercerita, mengeluarkan unek-uneknya.

Sedangkan Kavi, ia masih sendiri sekarang. Kesendirian dan kesedihannya itu lari ke dalam jalan yang salah, minum-minum, merokok dan bermain wanita. Ia merasa sangat senang jika sedang menggoda Naira. Terlebih hal itu bisa menghasilkan uang.

Hidup Kavi kacau sejak ia lulus SMA. Mungkin tuhan memberikannya karma karena telah menipu banyak gadis polos seperti Naira untuk memenuhi nafsunya. Usaha kedua orang tuanya bangkrut, keluarga mereka terlilit hutang yang sangat besar. Disaat-saat seperti itu Bapaknya malah hilang ntah kemana.

Kantin rumah sakit terasa sepi, cocok dengan perasaan dua orang laki-laki yang sudah menghabiskan makanannya. Kini Kavi sedang menghisap rokok sedangkan Geo hanya diam sambil sesekali mengecek hpnya untuk memastikan balasan chat dari Naira.

"Ibu lu sudah lama dirawat?" tanya Geo ragu-ragu. Ia bukannya sekedar ingin tahu atau penasaran tapi hatinya peduli.

Kavi mengangguk sambil menghembuskan asap yang berkumpul di mulut.

"Sekitar 2 bulan lah," jawab Kavi santai. Geo syok tapi ia berusaha menyembunyikannya agar Kavi tidak tersinggung.

Geo bergeming, tak lagi melanjutkan pertanyaan di kepalanya. Jika sudah dua bulan lamanya pasti penyakit yang diderita sangat parah. Ia tidak mau membuat Kavi sedih.

"Ibu gue emang sudah lama sakit-sakitan. Ini aja dua bulan cuman di rumah sakit ini sebelumnya di rumah sakit lain berbulan-bulan juga," jelas Kavi menambah kegetiran yang Geo rasakan.

"Memangnya ibu lu sakit apa?" Geo memberanikan diri bertanya pertanyaan privasi itu.

"Komplikasi gitu terus ada stroke-nya," ucap Kavi dengan wajah datar seolah hal itu adalah biasa.

"Oh...semoga cepat membaik deh." Perkataan Geo hanya dibalam senyuman simpul oleh Kavi. Geo tahu ucapannya tidak masuk akal, tapi ia bingung bagaimana mengekspresikan empatinya.

"Kak gue balik dulu deh ya. Kayanya teman gue nggak jadi jemput," ucap Geo memilih menyerah menunggu Naira datang. Ia beranjak dari sana, bersalaman ala anak cowok dengan Kavi sebelum dirinya pergi.

"Lu bisa pulang sendiri?" tanya Kavi saat menyambut tangan Geo.

"Bisa santai aja. Gue sudah kuat kok." Geo tersenyum tipis kemudian pergi dari sana. Namun saat baru berjalan beberapa langkah Kavi bersuara.

"Eh bentar...mau gue anterin nggak? Tapi naik motor," sarannya membuat sebelah alis Geo terangkat, Ia berpikir sejenak.

"Boleh deh Kak," jawab Geo terlihat sumringah.

"Oke Gas!" seru Kavi bangkit dari tempat duduknya sambil menghisap rokok yang telah memendek untuk terakhir kali sebelum ia lempar asal ke selokan kering yang ada disana.

***

Setelah kelas pertama usai dilaksanakan, Mark membawa diam-diam Naira ke kosan Geo. Awalnya ia bilang akan pergi ke coffeshop yang sejalan dengan kosan Geo. Tapi ia menipu Naira dan membawanya ke kosan Geo.

Tanpa sepentahuan Naira, di bagasi mobil Mark ada koper besar untuk membawa semua barang Naira. Hari ini Mark harus memisahkan mereka.

"Kenapa si kamu nggak jujur aja kalau mau ajak aku kesini?" Naira menggerutu sambil memasukkan kunci kosan Geo yang ia punya. Untung saja dahulu Geo pernah memberikan kunci itu untuk berjaga-jaga jika Naira pulang lebih dulu.

Mark tak menjawab sampai pintu itu sudah terbuka. Naira masuk dengan langkah gusar lalu langsung merapihkan kasur Geo yang satu ujung seprainya terbuka. Ia sebal dengan Mark yang telah membohongi dirinya.

Kosan Geo tampak berdebu karena sudah seminggu tidak ada yang bersih-bersih.

"Baju kamu dimana?" tanya Mark sambil berjalan mendekat ke lemari dan membukanya tanpa permisi.

"Mark! Kok main buka-buka aja, nggak sopan tahu." Naira menengok ke belakang dengan mata melebar, ia berjalan mendekat ke samping Mark sambil menutup paksa lemari itu.

"Terus kenapa sepatu kamu nggak dibuka?" tanya Naira baru melihat Mark yang tak lepas sepatu.

"Lantainya kotor," jawab Mark santai. Ia membuka kembali lemari yang ada dihadapannya tidak peduli dengan perkataan Naira sebelumnya. Naira memelototi Mark dari belakang, ia merasa kosan Geo seperti kosan miliknya dan tidak rela jika ada sembarang orang bertindak semau mereka seperti yang Mark lakukan.

Mark dengan mudahnya mengambil tumpukan baju Naira lalu melempar asal ke atas ranjang Geo.

"Mark yang benar dong, jadi berantakan gini 'kan."

"Biarin saja si Nai 'kan nanti mau dimasukkin ke koper," ungkap Mark tak merasa bersalah sama sekali.

Naira berdecak kesal, ia lipat baju-bajunya di atas kasur. Setelah Mark mengeluarkan semua baju Naira, ia melipir ke meja belajar Geo. Kemudian membuka laci Geo satu persatu. Sampailah ia pada laci terakhir yang tidak bisa dibuka. Laci Itu merupakan tempat penyimpanan obat-obat terapi untuk HIV. Kuncinya tidak ada di sana. Mark memaksa, menarik-narik laci hingga terdengar suara.

"Mark ngapain si?"

"Aku penasaran di dalamnya apa," jawab Mark. Naira bergeming, memikirkan apa yang ada di sana. Selama ini ia juga tidak pernah melihat isi laci itu apa dan Geo juga tidak pernah membukanya..

Mark mengambil penggaris besi yang ada di atas meja. Lalu berniat mencukil lagi itu.

"Jangan Mark, nanti kalau lacinya rusak gimana," larang Naira sambil menggenggam lengan Mark agar ia berhenti.

"Nggak bakal Nai. Sudah si santai aja. Aku cuman pengen tau isinya apa," ujar Mark keras kepala.

"Buat apa si kamu tau? ini 'kan privasinya Geo."

Mark berdecak, meremehkan ucapan Naira. Ia tetap berusaha mencukil laci itu walaupun sangat susah.

"Mark...."

"Naira ini tuh mencurigakan, kalau isinya aneh-aneh gimana?!" seru Mark memotong pembicaraan Naira.

"Aneh-aneh gimana si? Sudahlah nggak usah berlebihan gini."

"Ya aku cuman mau mastiin aja." Perkataan Mark membuat Naira menggeleng-geleng kepala perlahan. Naira menyerah atas kebatuan Mark, ia duduk di pinggir kasur menatap Mark yang berusaha keras. Penggaris besi itu hampir bengkok. Urat-urat di tangan Mark terlihat jelas.

"WOY LU SIAPA...." Tiba-tiba Geo muncul di depan pintu yang sengaja tidak ditutup. Ia berteriak namun saat melihat Naira di sana suaranya makin menurun dan berhenti. Teriakan Geo juga membuat Mark reflek menghentikan aktivitasnya. Penggaris yang ia pegang jatuh ke lantai sebab ia terkejut.

"Kak Geo?" lirih Naira dengan wajah syok. Sejak kapan Geo pulang, mengapa ia tidak memberitahu Naira.

Tak lama, Kavi datang sambil menenteng tas Geo dan berdiri di samping Geo. Wajah Naira makin terlihat syok. Otaknya berpikir cepat tentang hal-hal yang negatif. Ia bingung mengapa Kavi bersama Geo.

"Naira lu ngapain disini?" tanya Geo sambil melangkah masuk. Koper yang ada disana membuat dahi Geo mengerut bingung. Ditambah lagi lemarinya yang terbuka serta baju Naira yang berantakan di atas kasur.

Naira bergeming cukup lama. Kepalanya masih sibuk memikirkan alasan Kavi ada disana. Apa mungkin dugaan Mark benar?

"Kak..."

"Gue mau bawa Naira pulang!" potong Mark dengan suara yang keras sambil berdiri di hadapan Geo sehingga Naira tak terlihat di belakang punggungnya.

***

TBC

Positif!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang