Kekerasan

855 5 0
                                    

Bel istirahat berbunyi, Ayaka keluar kelas dan berjalan menuju kantin. Ayaka adalah siswi pendiam dan dia lebih suka pergi sendirian daripada beramai-ramai karena dirinya merasa tenang ketika sendiri meskipun terkadang dia bosan karena tidak mempunyai sahabat yang bisa dijadikan sebagai tempat curhat.

“Bu, beli es cokelat satu ya.” Ayaka memberikan uang lima ribu pada penjual es.

Ayaka mengantre cukup lama dan setelah beberapa menit akhirnya, dia mendapatkan es miliknya. Ayaka pergi ke penjual mie instan dan memesan mie goreng rendang, lalu Ayaka duduk di meja kantin dan menyantap mie gorengnya.

Ayaka melihat siswa dan siswi yang berlalu lalang. Mereka terlihat begitu gembira bersama circle mereka.

“Kapan ya aku bisa punya banyak teman kayak begitu?” gumam Ayaka.

Ayaka menampilkan ekspresi sedih. Ia juga mau merasakan punya banyak teman terutama sahabat yang bisa dijadikan sebagai tempat curhat. Namun, sayang—dirinya adalah tipe orang yang selalu menyembunyikan kesedihannya di balik senyuman. Semua teman-teman di sekolah mengira Ayaka sebagai murid pendiam, kenyataannya Ayaka diam karena memiliki trauma yang cukup besar dalam dunia pertemanan.

Kehadirannya tidak pernah dianggap dan dia dijadikan sebagai second choice dalam pertemanannya. Selain itu, Ayaka juga dituntut menjadi anak yang kuat dan tidak pernah menangis di hadapan orang tuanya. Bahkan orang tuanya pun tidak terlalu peduli dengan dia dan dia hidup untuk mewujudkan harapan orang tuanya.

Ayaka menyantap mie ayamnya sambil menahan air mata yang mendesak keluar. Ia tidak mau menangis di hadapan banyak orang. Namun, matanya berkaca-kaca membuat sebagian orang meliriknya.

“Itu Ayaka, kan? Anak kelas dua belas IPA?” tanya seorang siswi sambil menunjuk Ayaka.

“Iya,” jawabnya.

“Kok dia kayak mau nangis sih?” tanya siswi lain.

“Entah,” jawabnya.

Ayaka menjadi bahan perbincangan. Ia buru-buru menghabiskan mie dan minumnya dan pergi dari kantin.

Ayaka berjalan dengan tergesa-gesa. Tiba-tiba Raina berdiri di hadapannya bersama anggota gengnya yang dijuluki sebagai pentolan sekolah.

“Mau ngapain kalian?” tanya Ayaka.

“Kita mau silahturahmi sama lo,” jawab Raina sambil tersenyum kecut.

Ayaka memundurkan langkahnya, ia hendak pergi meninggalkan Raina. Namun, tiba-tiba anggota geng Raina menarik tangannya dan menyeretnya menuju belakang sekolah.

“Lepasin!” Ayaka memberontak. Namun, tenaganya tidak mampu mengalahkan dua teman Raina yang bertubuh seperti raksasa.

“Lo tau kenapa gue bawa lo ke sini?” tanya Raina dengan angkuh.

“Enggak,” jawab Ayaka.

“Karena lo berani ngelawan gue!” seru Raina.

Raina mencengkeram dagu Ayaka, kemudian menampar pipinya. Ayaka tidak bisa melawan karena kedua tangannya dicengkeram teman Raina.

“Kalo gue ngga bisa dapetin Rehan berarti lo juga ngga bisa dapetin dia,” ucap Raina sambil tersenyum sinis.

~Buk

Teman Raina menendang bokong Ayaka membuatnya tersungkur dan membentur aspal.

Raina melangkah mendekati Ayaka, lalu berjongkok di hadapannya. Raina mencekik leher Ayaka membuatnya kesulitan bernapas. Ayaka berusaha meminta tolong tetapi mulutnya di tutup oleh teman Raina.

Setelah Ayaka pingsan, Raina dan teman-temannya menyeret tubuh Ayaka menuju gudang sekolah. Raina membuka pintu gudang dan meletakkan Ayaka di sana, lalu Raina mengunci pintu gudang dan pergi meninggalkan halaman belakang.

***

Rendy menunggu Ayaka di parkiran sekolah. Ia sengaja datang lebih cepat supaya Ayaka tidak menunggunya. Namun, Ayaka tidak kunjung keluar padahal bel pulang sudah berbunyi sejak tadi dan sekolah pun sepi karena murid-murid sudah pulang.

“Ayaka ke mana ya? Kok belum keluar juga?” gumam Rendy.

Rendy mondar-mandir sambil memantau pergerakan waktu melalui jam tangan. Hatinya gelisah karena Ayaka tidak kunjung pulang juga.

“Ngapain lo di sini?” tanya Rehan yang muncul tiba-tiba.

“Terserah gue. Apa urusannya sama lo?” tanya balik Rendy.

“Lo pasti mau jemput Ayaka, kan? Mending lo pergi. Ayaka pasti udah pulang,” usir Rehan.

“Lo tau dari mana Ayaka udah pulang?” tanya Rendy.

“Kelas udah sepi,” jawab Rehan.

Rehan berjalan melewati Rendy dan menaiki motornya yang terparkir di samping mobil Rendy.

Rehan menyalakan motor dan meninggalkan Rendy yang masih gelisah bercampur bingung.

“Apa mungkin Ayaka udah pulang? Tapi gue enggak ngeliat dia dari tadi,” ucap Rendy berbicara sendiri.

“Permisi, bapak nunggu siapa ya?” tanya penjaga sekolah sambil menghampiri Rendy.

“Saya cari Ayaka, dia udah pulang atau belum ya?” tanya Rendy.

“Kayaknya dia belum keluar. Saya belum lihat dia,” jawabnya.

“Apa? Jangan-jangan dia ...”

Rendy berlari masuk ke dalam sekolah. Ia menyusuri sekolah dan mencari keberadaan Ayaka. Rendy berusaha menghubungi nomor Ayaka, tapi ponselnya tidak aktif.

“Ayaka!” Rendy berteriak memanggil nama Ayaka, sedangkan penjaga sekolah mengikutinya dari belakang.

Rendy membuka seluruh pintu kelas tapi dia tidak menemukan keberadaan Ayaka.

“Di sini ada CCTV?” tanya Rendy kepada penjaga sekolah.

“Ada,” jawabnya.

“Tolong periksa CCTV,” titah Rendy.

Rendy dan penjaga sekolah langsung berlari menuju ruangan komputer untuk mengecek rekaman CCTV. Sesampainya di sana, penjaga sekolah membuka jejak rekaman dan melihat Ayaka sedang di bully di halaman belakang sekolah.

Mata Rendy terbelalak saat melihat tiga orang siswi menganiaya Ayaka, bahkan membuatnya pingsan. Setelah itu, mereka menyeret tubuh Ayaka dan menguncinya dalam gudang.

“Anak-anak sialan!” teriak Rendy.

Rendy menggebrak meja, ia langsung berlari menuju gudang yang terletak di belakang sekolah. Sesampainya di gudang, Rendy mengambil ancang-ancang dan mendobrak pintu gudang yang terkunci itu.

Rendy masuk dan menemukan Ayaka dalam kondisi tidak sadarkan diri. Rendy menggendong Ayaka dan membawanya keluar.

Rendy mempercepat langkahnya menuju mobil, lalu Rendy baringkan Ayaka di kursi mobil. Rendy masuk ke mobil dan menjalankan mobilnya.

Terjebak Gairah Ayah TiriWhere stories live. Discover now