Bagian 8. Terusan Berwarna Putih Tulang

1.3K 349 33
                                    

Saya menyerahkan bantuan ke Arrasid setiap penghujung hari agar dia dan keluarga bisa sedikit tenang menjalani esok harinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saya menyerahkan bantuan ke Arrasid setiap penghujung hari agar dia dan keluarga bisa sedikit tenang menjalani esok harinya.

Maafkan saya karena keterbatasan saya sebagai istri abdi negara, saya tidak bisa memposting apapun. Ini berbagi modal percaya saja dengan saya. Semoga kalian semua ikhlas. Mungkin nanti entah kapan kalau orang tua Arrasid sudah mengizinkan, saya akan posting foto-foto seperti di beberapa naskah saya.

Yuk bantu lagi. Biarpun tidak banyak, akan sangat berarti. Kebocoran ginjal yang dialami ananda Arrasid tidak bisa disembuhkan. Pengobatan hanya mengurangi rasa sakit dan mencegah kerusakan yang berkelanjutan. Jadi pengobatan pun berkelanjutan.

Terima kasih yang sudah membantu, yang DM Instagram atau WA untuk memberi tahu. Atau yang diam-diam. Barakallah. Semoga Allah membalasnya dengan yang lebih luas dan berlimpah. Aamin allahuma aamiin.

Semoga ada yang membantu hari ini [ BCA 6281263649 a/n NIKEN ARUM DHATI ]

Selamat membaca teman-teman ♥️
Yang was-was naskah saya hanya ada di Karyakarsa, tenang. Setiap naskah akan diupload di Wattpad. Mohon bersabar.

*

"Hati-hati. Jangan pecicilan."

"Nggih, Mas."

Gempar menepi dan menurunkan Andi di dekat sebuah halte bus. Pemuda itu segera melambai dan Gempar melaju mobilnya menuju ke Richmond Hill.

Pagi hari dengan kesibukan yang benar-benar jauh dari rencana sebelumnya. Gempar bahkan menjadwalkan pengajuan cuti namun hal itu jelas tidak bisa dilakukannya sekarang. Dan meminta Andi berhati-hati selama dia menjelajah Richmond, hanya itu yang bisa Gempar katakan pada adiknya karena dia tidak mungkin membiarkan adiknya diam saja di rumah.

Melaju di jalan bebas hambatan dan keluar di pintu Richmond Hill, Gempar mengurangi laju mobil dan berhenti di pos. Tanpa basa basi, dia memperlihatkan kartu identitasnya dan petugas jaga dengan mudah mempersilahkan dia masuk.

Gempar melaju mobilnya lebih masuk lagi dan sekilas dia menatap ke kanan jalan. Dia memperhatikan sebuah rumah tanpa pagar dengan halaman luas. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada semua kediaman keluarga besarnya.

"Rasanya ingin sekali memiliki rumah seperti itu. Tanpa pagar tinggi dan memberi kesan kebebasan, keterbukaan, estetik..." Dan sesungguhnya, butuh waktu bertahun-tahun bagi keluarganya untuk menghilangkan gap antara keluarganya dan masyarakat sekitar. Sekeras apapun keluarga njeron beteng seperti keluarganya untuk berbaur, rasa sungkan masyarakat pada mereka tetaplah kental. Dan Gempar berpikir bahwa tembok tinggi memberi pengaruh kuat terciptanya rasa sungkan itu. Dan setelah eyangnya, dia bersyukur bahwa gap itu lambat laun terkikis.

Gempar bergumam lirih dan berbelok ke kanan. Dia menyusuri jalanan mulus itu dan akhirnya berbelok menghampiri properti keluarga Leandro. Dia berdeham lirih saat mendapati kenyataan bahkan pembatas properti Leandro bukanlah pagar tinggi. Rumah dengan beberapa bangunan besar itu terlihat lebih ramah.

GEMPAR AND THE COFFEE THEORY Where stories live. Discover now