Bagian 17. Ketika Pada Akhirnya Harus Bicara

1.3K 343 28
                                    

Minggu ini saya pure tidak bisa membantu Arrasid teman-teman

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Minggu ini saya pure tidak bisa membantu Arrasid teman-teman. Lutut saya alhamdulilah masih sakit dan benar-benar mengganggu mobilitas. Itu benar-benar menciptakan stres tersendiri karena sakitnya terasa sebadan. Terus terang yang saya update di Wattpad dan Karyakarsa adalah stok naskah. Jadi mungkin nanti akan sedikit tersendat.

Tolong bantu Arrasid ya teman-teman. Tidak apa-apa walaupun 10rb rupiah. InShaAllah barokah. Jangan biarkan mereka sendiri. Bantu doa juga yang banyak, apapun nanti keputusan Allah, berapa lama pun,  semoga dimudahkan perjuangan mereka

[ 6281263649 BCA a/n NIKEN ARUM DHATI ]

Hari ini saya memulai dari nol lagi.

Selamat membaca teman-teman. Saya tidak menjanjikan naskah ini akan imut jadi mari tabah sama-sama ♥️

*

”Aku akan berlari satu dua putaran di komplek.”


”Iya, Mas.”

”Kalau mau sarapan kamu sarapan saja. Mas mungkin akan sedikit lama di taman komplek. Workout di sana.”

”Nggih, Mas.”

Gempar keluar dari rumah dan berjalan melintasi halaman lalu berhenti di depan pagar. Dia terlihat berjongkok dan mengamati cor-coran jalan menuju ke jalan besar. Dia nampak serius mengamati lantai cor itu seperti mencari benda kecil yang jatuh.

Gempar beranjak. Dia menoleh sekali lagi ke arah rumah dan melayangkan pandangan ke lantai 2. Jendela kamar yang ditempati Brielle sudah terbuka, begitu juga dengan tirai nya. Menyisakan pelapis jendela yang tertiup angin pagi hari yang cukup kencang.

Memulai langkah dengan setengah berlari dan akhirnya berlari pelan, Gempar beberapa kali menepi ketika berpapasan dengan penghuni komplek. Dia menyapa beberapa yang dia kenal seperti tetangganya yang memiliki salon pria bernama Tuan Josh Dickinson. Mereka berbincang sebentar sebelum akhirnya Gempar meneruskan langkahnya.

”Perlukah menyelidikinya? Tapi untuk apa? Selama dia tidak mengganggu, seharusnya itu tidak perlu.” Gempar menambah kecepatan. ”Semua beres dan berakhir, akan lebih baik.”

Gempar berdeham dan berbelok memasuki taman komplek. Dia berlari di track lari yang tersedia selama beberapa kali putaran sebelum akhirnya meluruskan kaki di sebuah bench.

Gempar mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia membiarkan keringat jatuh dan menarik napas panjang. Tangannya bergerak gesit pada ponselnya dan kemudian wajahnya terlihat sangat serius.

”Cukup sampai di sini, Gempar. Penyelidikan mu pada keluarga Leandro jelas tidak masuk diakal. Kau bekerja dengan mereka. Anggota keluarga itu eksis dengan cara mereka masing-masing. Dan kalau ada yang terlewat olehmu, maka mereka memiliki alasan mengapa mereka tidak ingin diketahui oleh publik.” Gempar menutup ponselnya dan memasukkannya kembali ke kantong celana.

GEMPAR AND THE COFFEE THEORY Where stories live. Discover now