Bagian 19. T.I.P.E

1.1K 348 102
                                    

Setiap hari saya selalu mengharap kabar baik untuk Arrasid

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setiap hari saya selalu mengharap kabar baik untuk Arrasid. Dan bila di penghujung hari belum mendengarnya, maka saya akan mendoakan untuk esoknya.

Tolong bantu Arrasid ya teman-teman. Dia membutuhkan banyak uluran tangan. Saya belum bisa pulang dari healing ke rumah sakit jadi belum bisa membantu terlalu banyak. Doakan saya juga agar hasil lab dan rongent baik-baik saja.

[ BCA 6281263649 a/n NIKEN ARUM DHATI ]

Walaupun tidak mengenalnya, mari bersamai langkahnya hingga lanjut atau terhenti. Realita kadang menyakitkan, tapi selalu ada akhir dari sebuah perjalanan panjang. Apapun akhirnya, lanjut atau berhenti, semoga kalian mau menjadi bagian dari proses itu.

Terima kasih banyak teman-teman dan selamat membaca ♥️

*

”Kenapa?”

”Saling bersentuhan itu hanya untuk orang yang sudah menikah.”

Gempar menurunkan tangannya dan tertawa pelan. ”Benar anak baik. Tapi aku tidak seekstrim itu.” Gempar mendesis lirih dan menyadari satu hal lagi, bahwa Brielle adalah selembar kertas putih yang sudah diisi pemahaman-pemahaman tentang norma-norma orang Indonesia oleh Andi Maheswara!

Sofa melesak dan Brielle duduk di samping Gempar. Tatapan mereka terkunci sejenak dan buyar oleh suara gemuruh tepuk tangan dari pertandingan basket di televisi. Mereka menoleh menatap televisi dan melihat para pemain Golden State Warriors tengah melakukan selebrasi.

”Maafkan aku. Tapi aku harus bertanya padamu satu hal. Bagaimana ibumu dengan pernikahannya?”

Brielle menatap heran pada Gempar. ”Kenapa? Aku tidak mau kau terlibat dan ikut pusing, Mas.”

”Haiiish.” Gempar menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. ”Mana bisa seperti itu. Kau tinggal di sini dan kau sudah setengah jalan. Kau pikir seperti apa ini seharusnya berjalan huum? Aku sudah tahu setengah ceritanya.” Gempar menatap Brielle lekat dan gadis itu menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan kencang seakan dia berharap apapun bebannya, bisa terbang bersama hembusan napasnya itu.

”Tidak apa-apa kalau belum mau bercerita sekarang.”

”Ayah tiriku itu, dia memang yang maju untuk mengurusku ketika ibuku sendirian secara mental. Kata orang seorang ayah adalah orang yang maju untuk membersamai kita. Bukan sekedar seseorang yang memiliki genetika yang sama dengan kita.”

”Tuan Brad Paisley terlihat cukup kompeten untuk itu. Dan tentu saja Nyonya Alana tidak mungkin menerima pria itu kalau tidak sesuai dengan standarnya.”

”Aku tidak mengerti pemikiran orang dewasa. Semua nampak baik-baik saja sampai Jade berumur 15 tahun.”

”Jade?”

”Adikku. Dia anak laki-laki yang baik. Selalu bersikap menghormati aku sebagai kakaknya. Aku menyayanginya dan demi dia aku memilih menyaksikan drama keluarga.”

GEMPAR AND THE COFFEE THEORY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang