Surface - 1

12.2K 836 244
                                    

TATAPANNYA KOSONG dan bagian putih pada matanya terlalu banyak seolah-olah pupilnya telah lenyap. Pemuda itu terkapar lemas di sisi tempat tidur dengan tangan terkulai di sisi; mulutnya setengah terbuka, air liur mengalir dari sana. Tak ada sepatah kata yang terucap ketika Raka melihat sahabatnya telah pergi meninggalkan bumi. Hanya sensasi dingin yang menjalar di seluruh tubuh serta tenggorokan yang tercekat.

Sahabatnya, Jun, tak lagi bernapas dan Raka tahu ia telah terlambat.

Perlu lebih dari sepuluh detik hingga Raka dapat menjalankan fungsi otaknya lagi. Dengan tangan gemetar ia memegang tubuh dingin sahabatnya itu, mencari denyut nadi yang tak kunjung terasa. Menghela napas, ia menutup kelopak matanya, memberitahu kabar duka ini kepada sepupunya, Iyas.

Kamu bercanda ya? adalah kata-kata perempuan itu yang terdengar dari seberang telepon.

"Semuanya 78.500 rupiah, Mas." Ucap seorang petugas kasir di hadapannya.

Layaknya minimarket pada umumnya, tempat itu tidak begitu ramai. Seorang perempuan berjaket tebal tengah membuat minuman panas di seberang kasir sementara seorang pemuda seusia Raka mengambil uang dari ATM. Raka tidak sadar jika petugas kasir di hadapannya telah mengatakan nominal yang harus ia bayar. Pramuniaga itu memanggilnya sekali lagi dengan nada yang terdengar cukup kesal. "Mas."

Pemuda itu terkejut, lamunan akan memori duka seminggu yang lalu buyar sudah. "Sori, berapa, Mas?"

Petugas kasir menyebutkan kembali nominalnya dan Raka memberikan selembar uang seratus ribu. "Rokoknya satu kotak lagi deh Mas," ucapnya impulsif. Setelah mendapatkan kembalian dan satu kotak rokok tambahan, Raka mengucapkan terimakasih kemudian keluar dari sana; menyalakan motor dan mengendarainya ke kampus.

Bulan sabit tampak tinggi di langit namun awan kelabu yang menggantung rendah menghalangi terangnya bintang dan rembulan malam itu. Bulan Oktober bukanlah bulan yang ramah menurutnya. Cuaca tidak pernah bisa diprediksi. Di siang hari cuaca bisa sepanas gurun pasir namun di malam hari tahu-tahu lebih dingin dibandingkan dengan AC di ruang seminar kampus. Acap kali hari kian memburuk ketika hujan deras turun di siang hari dan Raka sama sekali tidak bisa pergi membeli perlengkapannya berkarya.

Hari ini genap tujuh hari mendiang sobatnya pindah domisili ke surga; setidaknya itu yang orang-orang percaya.

Ketika kabar kematiannya mengudara, jelas saja hal itu menjadi pembicaraan semua orang. Dalam satu himpunan, luar himpunan, bahkan komunitas di luar kampus, hal ini menjadi gossip yang terlalu hiperbolik. Kabar seorang mahasiswa seni rupa yang tewas karena overdosis mengubah kacamata orang awam melihat mahasiswa seni kembali lagi seperti dulu: tukang mabuk, bandel dan seperti gembel.

Raka tidak begitu peduli bagaimana orang awam melihat para aktivis seni, tapi yang menjadi masalah utamanya adalah bagaimana sahabatnya, Mahardika "Jun" Sudibyo tewas. Raka tahu betul Jun dan dia tidak mungkin melakukan kebodohan seperti ini tanpa alasan yang jelas.

Tiba di kampus, ia masuk ke dalam gedung kuliahnya. Banyak orang telah duduk di tangga yang mengelilingi sebuah lapangan di tengah gedung, berkasak-kusuk sementara di atas lapangan seorang pemuda yang Raka kenal sebagai ketua angkatannya duduk di atas kursi kayu. Cahaya kuning halogen menyorotinya yang tengah menundukkan kepala, bernapas secara teratur.

"Sudah mulai?" tanya Raka setelah menyulut rokok dan duduk di samping temannya yang bernama Duta.

"Belum." Ujar pemuda berambut bergelombang panjang dan berkulit gelap itu.

Berbeda dengan Raka yang rambutnya cenderung nanggung dan warna-warna pakaiannya yang cenderung netral, Duta tampak lebih preman dibandingkan dengannya. Pakaiannya selalu serba hitam seolah-olah ia siap pergi melayat kapanpun dan di manapun. Brewok tebal yang jarang ia cukur cukup membuatnya semakin menyeramkan.

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang