20th Floor

637 92 17
                                    

HELAAN NAPAS Nova semakin panjang. Sudah sekian menit berlalu namun belum membuahkan apapun. Beberapa kali ia berdiri dan membuka buku koleksi Ravi. Sayangnya buku-buku itu pun tak bisa memberikan makna lebih. Luke yang tadi membaca majalah kini malah tertidur; tangannya berkedut mungkin karena mimpi yang sedang ia alami. Waktu Nova tidak sebanyak itu lagi.

Satu hal yang bisa Nova pahami hanyalah simbol dari hamsa dan mandala di tengah punggungnya. Terajah dengan ukuran besar, simbol itu ditujukan untuk keselamatannya. Konyol, pikir Nova, memangnya gambar bisa melindunginya dari apa?

Melihat jam dinding, ternyata baru dua puluh menit berlalu. Rasanya begitu lama dan tak berguna. Apalagi yang bisa Nova terjemahkan? Sketsa yang diberikan memang terlihat sempurna dan tinggal dipindahkan saja, tetapi dia tidak bisa melihat punggungnya sendiri.

Menelan air liur, gadis itu menghampiri Luke. Ia terkejut ketika melihat mata Luke yang setengah terbuka kala terpejam. Ragu, gadis itu menyentuh pundaknya dan pria itu hanya mengedikkan bahu. Ia memanggil namanya dan tak ada tanggapan. Sekali lagi ia memanggil nama Luke, mendekati telinganya. Ketika Nova mengangkat wajah, mata Luke terbuka dan gadis itu memekik terkejut.

Luke menggaruk kepalanya yang tak berambut, menyipitkan mata sembari memandang Nova. Mengedikkan dagu, menyuruh Nova berbicara sembari mengumpulkan nyawa.

Jantung Nova berdegup cepat, "Maaf," ucapnya, "Aku perlu bantuanmu."

Dengan setengah hati pria botak itu menuruti permintaan Nova untuk mengecek kesesuaian tato di punggungnya. Luke meminta gadis itu untuk membuka kaos yang ia kenakan. Terkejut, Nova bersemu merah, tetapi ia tak bisa marah. Meski ucapannya terdengar semena-mena, Luke takkan mungkin bisa memeriksa punggungnya dengan kaos yang masih terpakai.

"Kau ini enggak punya daya tarik. Mau kau telanjang bulat pun aku takkan mau melakukan hal-hal aneh padamu. Aku sudah pernah melihat punggungmu, ingat?"

"Tetap saja," gerutu Nova sembari menggigit bibirnya, "Jangan lihat."

Setelah memastikan mata Luke terpejam dan berhenti menggerutu, Nova duduk menyilangkan kaki di hadapan pria itu dan melepas kaos putih lengan panjang yang ia kenakan. Udara dingin menyentuh punggungnya. Ia harus melakukan ini.

"Aku ingin kau mengira-ngira gambar apa yang ada di balik luka bakar itu dengan sketsa yang kita dapatkan. Aku mau menyusunnya," pinta Nova setelah menyuruh Luke untuk membuka mata, "Aku membenci tato-tato itu sampai aku tak tahu di mana letaknya secara persis."

"Kenapa pula kau menato tubuhmu kalau kau tidak suka? Kalau pada akhirnya tidak bisa bertanggung jawab atas keputusanmu, tidak usah kau lakukan."

"Aku dipaksa. Kukira penjelasannya sudah cukup di Stone Roses tadi."

"Yah, terserahlah, toh aku enggak begitu mendengarkan."

Mengerling, gadis itu mengubah posisi duduknya sambil memeluk lutut dan membuka perbincangan, "Aku tidak pernah memintamu untuk ikut dalam perjalanan ini, kau tahu. Kalau kau tidak suka, pergi saja; aku enggak pernah menginginkan apapun darimu."

Luke mendengus, memberikan selembar kertas bergambarkan hamsa, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara di antara keduanya. Bukan keinginannya pula untuk menemani Nova, jelas Luke. Tapi, dia berhutang budi cukup besar pada Ravi sehingga permintaannya yang ini tak bisa ia tolak.

"Bukannya sedikit tidak adil? Kau tahu banyak tentang diriku, tetapi aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu selain kau bekerja di Marcus's Toe. Bagaimana aku bisa memercayaimu? Bagaimana aku bisa tahu bahwa kau tidak akan mengkhianatiku?"

Hening. Hanya terdengar renyukan kertas dan embusan napas. Luke memberikan lagi lembaran sketsa pada Nova dan menunjukkan posisinya. Nova melirik dari balik bahu, menatap pria itu dengan penuh arti. Diterangi cahaya remang, pria itu melihat pantulan matanya yang memelas. Luke mengerang.

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now