19th Floor

621 93 25
                                    

HATI RAKA terasa berat ketika meninggalkan Indhi dalam keheningan malam. Tanpa melihat ke belakang, pemuda itu meyakinkan dirinya bahwa ini hal yang harus ia lakukan. Harus. Sebelum dia bisa menghindari kesialan di Bumiapara, Raka tidak boleh melibatkan Indhira ke dalam bahaya yang dia buat sendiri. Untuk itu ia harus pergi, tetapi Raka tak punya rencana. Mungkin dia akan ke kedai minuman lagi atau ke gerbang utama lalu pergi meninggalkan Haven. Hal detil seperti itu dipikirkan belakangan saja.

"Aku enggak menyangka kau akan melakukan hal itu," sebuah suara mengejutkan Raka; suaranya tinggi bagaikan perempuan yang asing di telinganya.

Menyipitkan mata, Raka mencari sumber suara. Jalan yang sempit dan gelap membuatnya yakin bahwa tidak ada siapapun di sana selain dirinya. Tanpa mengindahkan suara itu, ia kira dirinya mulai tidak waras. Pemikiran tentang perkataan Jun, suara yang memanggil namanya, hingga suara yang mengomentari perbuatannya sepertinya pertanda sekrup di kepalanya mulai longgar.

"Kau tidak berniat untuk mengabaikanku terus 'kan?" kini suara sosok itu serak seperti seekor kucing garong. Bunyi berisik seng yang terbanting mengejutkannya. Seekor kucing menunggu Raka di atas pembuangan sampah itu; kepalanya bergerak mengikuti Raka yang mendekat. "Kau benar-benar marah, ya?"

Raka memandang kucing itu, menyipitkan mata, kemudian berlenggang pergi tanpa sepatah kata. Pandangannya terpaku lurus ke depan, tetapi gang yang ia lewati tak kunjung berakhir. Seolah-olah bangunan yang membentuk jalur sempit itu ikut memanjang seiring ia melangkahkan kaki.

Ia tahu sensasi ini. Dia pernah ke sini. Tempat di mana semua suara teredam seolah-olah masuk ke dalam dimensi yang berbeda dari tempatnya berpijak. Lanskap yang terus berulang berubah menjadi pandangan yang suril; gedung tinggi yang tak ada sebelumnya menjadi satu dengan realita. Pemuda itu menarik napas; kesal sudah mencapai ubun-ubun kepalanya karena terasa dipermainkan.

Raka tidak menemukan sosok kucing itu di manapun. "Maksudmu apa, Cecil?" ia bertanya pada udara. Raksaka dan perbuatannya tak pernah bisa dikira dengan logika.

"Kau marah, aku tahu," sosoknya tak tampak, tetapi suaranya terdengar cukup dekat, "Kau merasa dikhianati karena aku; aku paham. Tetapi, kenyataan selalu buruk, Raka. Apa yang bisa kau lakukan mengenai itu?"

"Keluar supaya aku memukul wajahmu!"

Bagaikan menuruti perintah, tiba-tiba saja Cecil berada di sampingnya, bersandar pada dinding gang itu. Sosoknya tidak berupa Cecil, melainkan Celene yang berdagu lancip, mata tajam dengan rambut panjang berwarna hitam yang digerai.

"Silakan," ucapnya.

Geram, Raka melayangkan tinjunya namun meleset mengenai tembok. Celene melipat kedua tangannya tetap bergeming bahkan tak berkedip. Sekali lagi Raka memukul tembok itu sekuat tenaga hingga tangannya berkedut ngilu. Mata Raka berbayang, giginya bergemeletuk karena amarah. Ia memukul tembok lagi dengan tangan satunya hingga gemeretak terdengar. Tarikan napas berat diembuskan, Raka memutar tubuh, dan ikut bersandar di samping perempuan itu.

Seolah-olah bisa membaca pikiran, Cel memberikan rokok pada Raka, menyulutnya, dan membiarkan pemuda itu menghirupnya dalam-dalam. Sesaat, keduanya tak berbicara. Asap putih melambung tinggi dan pudar seiring waktu. Tubuh Raka merosot, berjongkok, dan tetap bersandar pada dinding. Buku-buku jarinya merah dan lecet. Menengadah, pemuda itu memandang Celene yang tengah memejamkan mata.

"Kau bilang, kau membuat janji mengenaiku?" tanya Raka tanpa menyaring lagi omongannya, "Kenapa aku harus ditipu selama itu untuk tahu?"

"Maaf, Raka, mulutku terkunci."

"Yang benar saja," Raka berdecak, "Kau nyaris menumpahkan semuanya!"

"Itu bagian dari negosiasinya. Aku tetap tidak bisa memberitahumu meskipun kau sudah terlanjur basah masuk ke sini. Jika masuk dan tenggelam tandanya kau tidak belajar. Diberi pelampung pun rasanya terlalu mudah," belum sempat Raka membuka mulutnya, perempuan itu menambahkan, "Aku mengenalmu dengan baik, Raka. Kau yang bilang bahwa kau bosan, apa kau mau kesenanganmu dalam menjelajah hilang karena aku memberi tahu semuanya?"

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now