23rd Floor

430 80 26
                                    

MESKI FAJAR telah berlalu, matahari tak kunjung tampak. Kabut tebal menyelimuti pagi. Denting peralatan makan berbunyi ketika Indhira tengah mencuci. Dee menuangkan kopi ke dalam beberapa cangkir dan meletakkan french press-nya di tengah meja, mempersilakan siapa saja untuk menyeduh. Menyesap kopinya, Kei menggerakkan jari telunjuk, menyuruh Nova mendekat. Sementara itu, Luke berada di balkon, menghabiskan rokok entah batang kesekian.

"Kopi?" tawar Dee dan mendapat gelengan singkat dari Nova.

Indhira mengambil sebuah cangkir dari dalam kabinet, memasukkan teh ke dalam gelas dan menyeduhnya. Ia meletakkan sebuah mug di hadapan Nova lalu duduk di samping Dee.

"Terima kasih," katanya. Nova menghangatkan jemarinya di mug, bingung harus memulai dari mana. Sementara itu, ketiga penghuni klinik juga sama-sama menunggu siapa yang hendak membuka pembicaraan duluan. Kei, menopang dagu, mengetuk-ngetukkan jari telunjuk dan tengahnya bergantian ke pipi.

"Lucu ya, melihat kau dan Raka datang ke sini secara terpisah," mata sayu Kei menatap Nova dalam-dalam. Entah kenapa sudut bibirnya selalu terlihat berkedut

"Raka masih hidup?" tanya Nova, mengerjapkan matanya.

"Raka siapa?" Luke berjalan ke arah meja bundar itu, mengambil kursi dan duduk di samping gadis berambut burgundi.

Nova menoleh dan menjawab, "Dia seseorang yang aku temui di Permukaan Atas. Dia bodoh dan lebih sering tidak berpikir panjang."

Indhira tampak kesulitan menahan senyum ketika mendengarkan komentar Nova. Tapi, pertanyaannya di awal mengusik dirinya, "Tapi, kamu pikir Raka sudah...mati?"

"Tidak. Aku enggak tahu," jawabnya, "Terakhir kali aku melihatnya mungkin sekitar...satu - dua minggu yang lalu? Aku tidak ingat pastinya. Kami berpisah saat dia terjebak Huva Atma sendirian."

"Dan berhasil keluar hidup-hidup," Dee menambahkan, "Itu sebuah pencapaian."

"Dari segala bahaya pagna dan juga azuline?" Nova terdengar tidak percaya, "Wow."

Bagi Nova, Raka hanyalah seorang pemuda yang pernah menolongnya di Permukaan Atas dan bersikeras untuk ikut dengannya. Ketidaktahuan tentang Bumiapara dan sikapnya yang tidak berpikir panjang membuat hal sial menimpa dirinya. Ia kira nama Raka tidak akan masuk lagi ke telinganya. Betapa mengejutkan mendengar nama itu dari mulut Kei.

"Apa seaneh itu melihatku dan Raka tidak datang bersamaan?"tanya Nova, "Bagaimana kalian bisa mengenalnya juga?"

"Oh, Dee menemukannya di hutan. Nyaris mati, sepertinya. Udara di sana bau sekali karena banyak tubuh tak bernyawa, kau tahu," ujar Kei, "Kalian ini seharusnya satu paket. Tapi, bukan itu hal yang penting sekarang sih."

"Tidak, tidak, tidak. Aku harus tahu kenapa. Aku lelah dengan semua teka-teki ini dan aku ingin menghubungkan satu titik dengan titik yang lainnya sekarang," Nova menunduk, melihat teh dalam gelasnya sudah pekat dan menyesapnya. Ia berkata lirih, "Petunjuk terbesar yang aku punya hanya tato yang ada di punggungku."

"Flint," Dee angkat bicara, "merencanakan tato dan hal lainnya selama bertahun-tahun. Cukup lama setelah idealismenya digoyahkan. Tentu saja kau enggak bisa memecahkannya hanya dalam satu-dua hari."

"Apa yang dia rencanakan? Flint—ayah, maksudku. Kenapa dia merajah punggungku? Kenapa dia pergi meninggalkan kami? Kenapa sekarang dia menghilang? Dari mana aku seharusnya memulai untuk mencari tahu kebenarannya? Dan untuk apa rencana yang ia buat?"

Dee membenarkan kacamatanya yang melorot, "Ini terdengar ambisius, tapi mengutip perkataannya, dia ingin menyelamatkan umat manusia."

Nova mendengus, "Umat manusia?" ulangnya dengan intonasi yang lebih tinggi. Ia merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari seharusnya, "Memangnya dia melakukan apa sampai merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan umat manusia? Dia bukan seorang pahlawan, oke. Flint bahkan tidak bisa menjaga keluarganya utuh."

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now