29th Floor

434 74 20
                                    

MENUNGGU TIDAK pernah tertulis dalam kamus Raka. Semenjak mereka turun dari Mocha dan Kres membawa tunggangannya ke markas para pengendara, mereka bertiga kini ditinggal di bagian tengah area pemberhentian itu. Bukan berarti tidak ada hal lain yang bisa dilihat, hanya saja Raka sudah bosan melihat pemandangan yang sama selama satu jam terakhir.

Satu tempat yang menarik waktunya cukup lama adalah bangunan tinggi di Barat itu, sebuah pusat informasi dan tempat transisi. Enam buah lift dibangun berdampingan dan selalu penuh dengan orang berlalu-lalang. Baik orang tua maupun orang muda, akan selalu ada seseorang yang membawa tas besar untuk perjalanan mereka.

Ia mengambil selembar peta dan penjelasan tentang Giyarim. Meskipun kota ini lebih kecil dibandingkan dengan Floor dan terletak di kaki gunung, Giyarim merupakan sebuah persimpangan jalan orang-orang timur ke barat; selatan ke utara dan begitu pula kebalikannya. Karena kondisi tanah dan banyaknya pelacong yang harus mengganti transportasinya, tak heran Giyarim disebut Kota Transit. Tak hanya pagna, tetapi juga kereta serta kendaraan bermesin lainnya. Giyarim selalu sibuk dan tidak pernah tidur.

Raka menyimpan kembali selembaran itu pada tempatnya dan kembali ke tempat mereka berkumpul; berpapasan dengan Kres. Kedua rekan perjalanannya menghela napas lega ketika melihat pengendara itu datang.

"Sori lama," ujar Kres, melepas sarung tangannya, "Banyak hal-hal administratif yang harus diselesaikan untuk menitipkan pagna dan antreannya panjang."

"Kukira tidak akan ada banyak orang yang menitipkan pagnanya di sini," ujar Nova.

"Seperti Watch End, Giyarim juga merupakan salah satu pemberhentian terbesar untuk para rider. Watch End di barat, Giyarim di timur dan satu lagi di utara. Aku pun sudah membeli tiket ke Ragni keberangkatan besok pagi."

"Bisa kita pergi dari sini sekarang? Aku bosan setengah mati," ujar Raka.

Memiliki pendapat yang sama, Luke menambahkan, "Kalau tulang rusukku tidak patah, aku akan pergi bersama cewek-cewek yang lewat tadi. Pandangan mereka sudah mengundang, tahu."

Nova menyipitkan mata, memandang pria botak itu seolah-olah bosan dengan sikap buayanya.

Dalam perjalanan mereka ke penginapan terdekat, Kres mewanti-wanti bahwa mereka akan berangkat sebelum fajar. Mendengarnya, Raka melengos. Ia tidak akan bisa menikmati empuknya kasur.

"Keberangkatan jam segitu itu murah, peminatnya sedikit dan kita akan aman dari orang-orang Orenda maupun mereka yang mengincar hadiah kepalamu," Kresna mendecih, "Lagipula kau tidak punya uang, Raka. Argumenmu tidak valid."

Raka menunjukkan dompet si penjaga yang ia pungut tadi, "Aku ada uang tuh."

Kresna memicingkan matanya, "Itu enggak dihitung. Itu bukan punyamu, tapi punya kita."

Mengerling, Raka mengulurkan dompet itu "Tentu saja."

Meski senja, lift yang mereka naiki penuh sesak; tidak hanya dengan orang, tetapi juga dengan barang. Saat keluar pun sudah tidak tercium lagi bau busuk seperti Disposal Floor dan lembabnya perjalanan bawah tanah mereka. Tinggi bangunan pada Giyarim tak lebih dari tiga tingkat, dengan pepohonan lebat, menunjukkan bayang-bayang rindang hari senja.

Kres membawa mereka ke sebuah penginapan seratus kaki dari area transit itu. Nova meminta satu kamar untuknya sendiri namun ditolak Luke mentah-mentah; katanya demi keamanan.

"Aku akan mengunci kamarnya!" Nova mencoba meyakinkan.

"Pintu bisa didobrak meskipun terkunci." Luke berdecak, lelah menanggapi ucapan tak masuk akal gadis itu, "Tiga jam yang lalu, kita hampir mati jika tidak ada dua orang ini!"

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now