28th Floor

344 68 6
                                    

DALAM SETIAP tegukan air yang membasahi kerongkongan Nova, gadis itu merasa lebih tenang. Luke terduduk di sampingnya, memegangi tulang rusuk yang ia keluhkan telah patah. Mengembalikan botol minum pada Raka, mereka kemudian membantu pria botak itu berdiri. Nova mengalungkan tangan Luke di lehernya, memapahnya untuk berjalan.

Suara gadis itu terdengar parau, "Kamu enggak apa-apa?"

"Aku pernah lebih baik," ujar pria itu, melirik tubuh si penjaga yang tak bernyawa, "Memalukan sekali membawa instansi negara seperti itu. Penjagalah, polisilah, kelakuannya enggak jauh beda dengan binatang. Memalukan."

"Raka," panggil Nova, pikiran yang menghantuinya kembali lagi, "saat aku pergi, aku mendengar suara tembakan. Apa ada yang...," ia tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya.

Raka mengangguk. Nova nyaris menangis lagi jika saja pemuda itu tidak menimpali bahwa orang-orang Orenda yang telah tewas.

"Jadi, Indhi, Dr. Kei dan Dee masih hidup?"

"Yep. Mereka pergi ke utara."

Nova menghela napas lega. Gadis itu terkejut ketika Luke menepuk kepalanya dan berkata, "Lihat kan? Mereka baik-baik saja, tidak apa-apa."

"Meski dibilang enggak apa-apa... kalau mereka tetap di Disposal Floor, kemungkinan besar antek-antek Orenda itu akan datang mengepungnya. Mau tak mau, mereka juga harus kabur."

Raka melepaskan Luke, membiarkan Nova untuk memapahnya sendirian. Mengikuti pemuda itu pergi, Raka tampak berbeda dengan yang terakhir ia lihat. Ia tidak seriang dan tampak sebodoh kali pertama mereka bertemu. Kantung matanya menghitam, tubuhnya terlihat sedikit lebih kurus, dengan otot yang semakin terbentuk. Janggut serta jambang tumbuh tak teratur karena tak sempat dicukur. Rasa lelah baik fisik dan pikiran terbalut oleh sikapnya yang terlihat lebih kasar. Banyak hal yang pasti telah terjadi dengan dirinya beberapa hari belakangan ini.

"Apa kau harus membunuh mereka?" tanya Raka; melihat tubuh tak bernyawa tak lagi mengejutkan pemuda itu nampaknya. Ia mengambil senjata si penjaga yang telah berlumuran darah, "Kita masih bisa memakai ini kan?"

"Kau punya ide lain?" Kres balik bertanya, ia pun mengambil senjata api dari pria tak bernyawa itu, mengelapnya dari bercak darah "Lagipula Mocha butuh makan."

"Mocha?" Raka menyipitkan matanya.

"Pagnaku."

"Dia punya nama?"

Mengabaikan Raka dan Kresna yang memperdebatkan nama pagna, Nova menanyai kemampuan Luke untuk berdiri. Mengangguk, gadis itu mengambil langkah lebar menuju tempat pembantaian tadi. Ia merogoh karung berisi barang rongsok, mengambil tas selempangnya sembari memastikan sketsa-sketsa tatonya tidak rusak maupun berkurang secara jumlah.

Sementara itu, Kresna tengah mengosongkan karung berisi barang rongsok. Kedua pemuda itu saling pandang dan Raka mengerutkan alisnya dalam-dalam saat Kres memasukkan tubuh tak bernyawa itu ke dalam sana.

"Sudah kubilang, Mocha perlu makan."

Seratus langkah dari tempatnya berdiri, dengan omelan-omelan Raka yang membuat telinga mereka panas, mereka mengistirahatkan diri tak jauh dari sebuah lubang besar sebagai akses mereka ke dalam Huva Atma.

Kres menarik karung itu dan menjatuhkannya ke ke dalam lubang. Tak lama terdengar suara remukan tulang yang menggaung. Suaranya menggelitik Nova hingga rambut halus pada tengkuknya meremang. Ia menutup telinganya, berharap suara itu cepat berakhir.

Luke, duduk di sampingnya, menekan bagian perut dan dada, berterima kasih pada Raka dan Kres karena telah membantunya menghadapi penjaga-penjaga itu. Saling berkenalan, "Bagaimana kalian menemukan kami?" tanya pria itu, meringis ketika menemukan bagian yang paling menyakitkan.

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now