10th Floor

955 142 102
                                    

JUJUR SAJA, ini makan siang paling enak setelah Raka tiba di Floor. Berbeda dengan buatan Dee, masakan Zadia tidak bisa dibandingkan. Masakannya sederhana, tetapi terasa cinta dari setiap suapannya. Raka tersenyum lebar setiap kali makan siangnya masuk ke dalam kerongkongan.

Meski Raka tampak penuh semangat, sosok Zadia di hadapannya malah menyipitkan mata. Wajahnya berkeriput, rambutnya putih secara natural digelung di atas kepala. Wanita itu terlalu tua, mungkin seumuran neneknya yang tinggal di Permukaan Atas. Akan tetapi Zadia masih aktif melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa terlihat kelelahan dan hidup di kabin besar seorang diri. Tubuh jangkung dan setiap gerakannya tampak elegan.

Wanita itu tidak banyak bicara. Relung matanya tampak dalam dan bibirnya yang tipis memberikan kesan wajah yang dingin. Ketika Indhi membantu perempuan tua itu membongkar pesanannya, Raka mengutarakan pertanyaannya mengenai Orenda.

Mengenakan kacamata yang disampirkan pada kerah bajunya, Zadia menatapnya dari bawah ke atas. Perempuan itu bertanya galak, "Kau dari Permukaan Atas? Datang dari Permukaan Atas dan masih utuh?"

"Ya."

"Kenapa kau bertanya mengenai Orenda? Bukankah kau tahu Orenda itu apa?"

"Haruskah saya beralasan?" tanya Raka cukup penasaran dengan respon ofensifnya.

"Serius? Kau datang dari Permukaan Atas, masih utuh, lalu ingin mencari tahu tentang Orenda?" Zadia menghela napas panjang dan melanjutkan, "Orang bodoh macam apa yang mau mengulangi mimpi buruknya? Pergi saja ke Haven dan jalani hidup yang lebih baik."

Menyipitkan mata, Raka bertanya, "Anda pikir saya mengambil keputusan yang sama dengan Indhi? Saya ke sini atas kemauan dan kesadaran sendiri, bukan karena perasaan depresi yang menumpuk lalu ditipu-tipu demi mencari kebahagiaan!" Indhira mendelik mendengar ucapan Raka, pemuda itu meminta maaf, "Saya tidak pernah masuk ke dalam Orenda dan saya punya alasan sendiri untuk pergi ke sana."

Memijat pangkal hidungnya, Zadia menggeleng-geleng lemah, "Ya Tuhan...ternyata kau ini lebih bodoh daripada orang bodoh. Dasar dungu. Aku tidak akan menceritakan hal itu padamu. Kau bisa membacanya di seluruh buku sejarah kalau kau mau, tetapi aku tidak akan menceritakan apapun padamu."

"Saya tidak suka baca buku," ucap Raka masih tidak bisa terima keputusan Zadia.

"Bagus dan tetaplah bodoh."

Raka dan Zadia saling tatap, sama-sama memendam kekesalan. Sudah lama ia tidak berbicara dengan nenek-nenek ngotot seperti ini. Ibunya saja tidak serewel ini. Keras kepala sudah pasti menjadi nama tengah setiap orang yang sudah lanjut usia. Raka memohon sekali lagi, tapi dengan cepat ditolak, membuat Raka sebisa mungkin menahan rasa jengkelnya.

"Kenapa saya lebih baik tidak usah mengetahui hal-hal mengenai Orenda? Saya pikir tuntutlah ilmu sampai Negeri Cina berlaku sampai sini juga."

"Negeri Cina? Dan kalaupun aku menjawab pertanyaanmu, apa yang akan kau lakukan mengenai informasi itu? Menghancurkan mereka? Menjungkirbalikkan keadaan?"

Menghancurkan? Menjungkirbalikkan?

"Saya sama sekali enggak mengerti apa yang Anda bicarakan," Raka memang tidak terpikir sampai sana. Setidaknya ia tahu siapa yang terlibat dalam kematian Jun. "Saya pun mempunyai alasan untuk tidak melakukan keduanya."

"Saya juga punya alasan untuk berkata 'tidak'," wanita tua itu terdengar kukuh dan angkuh, "Aku lelah mendengar anak muda mengemis-ngemis tanpa ada usaha terlebih dulu."

Mendesah, Raka mengusap telapak tangannya ke wajah. "Pembicaraan ini tidak akan ke mana-mana, enggak sih?" ia bergumam lebih ke dirinya sendiri.

Meskipun begitu, Zadia menjawabnya, "Setidaknya kau cukup pintar untuk bisa berpikir ke sana."

Down There Is What You Called Floor [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora