31st Floor

491 75 17
                                    

RAHANG LUKE MENGERAS, Kres mengerutkan alis, sementara Raka —duduk di kursi terpisah dan berseberangan cukup jauh dari mereka— memasang mata serta telinganya baik-baik. Orang-orang berkepentingan itu menunggu salah satu di antara mereka menjawab. Sedetik, dua detik berlalu. Salah ucap sedikit maka habislah sudah. Raka takkan heran jika perjalanan ini menjadi berdarah-darah.

"Maaf, siapa?" Nova membuka bibir, menanggapi setenang yang ia bisa. Setelah mengganti baju, gadis itu mengenakan tudung dan juga syal untuk menutupi wajahnya jauh sebelum orang ini datang.

Pria yang bertanya berpenampilan lebih rapi dibandingkan dua sisanya. Jelas ia dikawal. Rambut sebahu dengan tubuh yang cenderung ramping, pria itu mengenakan kemeja dan tunik berwarna terang. Celana kargonya memberikan kesan rapi tanpa tas dan aksesoris apapun yang ia bawa. Bisa jadi ia orang penting yang enggan mengotori tangannya.

"Nova Sarojin," ulang pria itu memajukan tubuhnya, mengamati lamat-lamat sosok gadis di hadapannya. Dari suaranya ia terdengar tersenyum namun begitu dingin, "Jangan pura-pura bodoh begitu."

"Aku benar-benar tidak tahu siapa orang yang kau sebut," jelas Nova, "Nampaknya kau salah orang, maaf."

"Ah... begitukah?" pria itu memegang kerah tuniknya, berjalan mundur. Keputusan pria itu untuk tidak mengkonfrontasi malah membuat Raka semakin was-was, "Maaf mengganggu kalau begitu."

Kedua pengawal yang mengenakan masker saling tatap namun postur mereka tetap siaga. Merekat tidak ikut duduk, melainkan berdiri di lorong, di samping kursi pria berpakaian necis itu; tepat di belakang Nova. Kerongkongan Raka terasa kering. Begitu saja? Tidak mungkin 'kan?

Luke menatap Raka dari kursinya, menggerakan kepalanya seminimal mungkin untuk mengetahui keberadaan orang-orang itu. Pura-pura mengusap wajahnya, Raka memberikan isyarat bahwa orang-orang berseragam itu duduk di belakang mereka. Entah paham atau tidak, Luke mengangguk pelan, menepuk tangan Nova beberapa kali, dan berdiri sembari membawa tas yang berisikan senjata api.

Nova tampak tegang. Menggigit bibir, gadis itu menarik napas. Mereka tahu mereka belum aman. Luke berjalan ke arah berlawanan dari tempat Raka duduk dan menghilang dari balik pintu. Suara laju kereta api yang beradu mengisi kesunyian, setiap detik yang berlalu tak meredakan kecemasan yang tak tergambarkan itu.

Si pria necis menghela napas panjang, suaranya dipaksakan terdengar nyaring, "Kau tidak perlu berbohong, lho. Karena aku tahu." Ia berbalik, menunjukkan separuh kepalanya dari kursi. Wajah yang tertutup masker tak bisa menggambarkan ekspresi di balik kata-katanya, "Air muka kalian terlihat tegang; tidak biasa menyimpan rahasia ya?"

Kres angkat bicara, "Dia bilang, dia tiak tahu, Pak. Anda telah membuat kami tidak nyaman, kami bisa memanggil petugas keamanan."

"Petugas keamanan?" pria itu mendengus, "Mereka tidak akan datang. Dalam kereta ini hanya ada kita dan kita seorang." Ia mengulurkan tangannya dan menarik tudung beserta rambut Nova secara bersamaan.

Pekikan gadis itu membuat Kres terkesiap. Akan tetapi, segala gerakan yang tiba-tiba membuahkan para pengawalnya untuk menodongkan senjata.

"Kau tidak bisa bohong, Nova Sarojin. Tidak bisa bohong!" desis pria itu di telinga Nova.

"Aku tidak tahu siapa yang kau maksud," ringis Nova, menahan sakit.

"Lepaskan dia," ujar Kres setenang mungkin.

Pria bermasker itu mengencangkan cengkramannya disusul oleh ringisan Nova lagi, "Atau apa? Gadis ini tahu betul betapa berharga dirinya. Jadi lebih baik kau mengaku saja, sebelum ada pertumpahan darah yang tidak perlu."

"Aku tidak tahu siapa itu...Nova Sarojin," suara Nova terdengar gemetar.

Raka diam-diam memuat peluru pada pistol dan membuka pengamannya. Salah satu pengawalnya beberapa kali menatap Raka namun ia lebih waspada pada Kres yang jaraknya lebih dekat. Apa yang harus ia lakukan? Menembak?

Down There Is What You Called Floor [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora