14th Floor

685 108 49
                                    

for better experience, please turn the video on before you start reading this chapter (and put it on loop //klik videonya agak lama terus muncul menu deh) ※

INDHIRA DALAM bahaya. Hubungan mereka memang tidak berlabel namun sebagai seorang teman, sahabat, atau katakanlah orang yang pernah dekat, ia tahu gadis itu ketakutan setengah mati. Pengalaman Indhi yang dilecehkan oleh ayah tirinya, membuat gadis itu sedikit banyak mempunyai masalah kepercayaan ke pria manapun yang sedang dekat dengannya.

Ia ingat jarak yang diciptakan Indhi ketika bertemu Raka setelah sekian lama. Keinginannya untuk berlari dan memeluk Raka erat-erat tertahan karena rasa traumatik dari beberapa tahun silam belum hilang. Ia pun tidak akan memilih tinggal bersama dua pria dewasa jika bukan karena kedua dokter itu tidak punya selera untuk menginginkan Indhira sebagai seorang wanita.

Raka takkan pernah peka akan perasaan Indhira dan juga perasaannya sendiri. Seharusnya Raka menjadi posesif saja. Mungkin seharusnya Raka mengakhiri kenyamanan dalam hubungan kasual ini. Penyesalan memang selalu datang terakhir, tetapi tidak ada kata terlambat untuk hal yang belum ia sesali.

Isakan Indhira terdengar semakin dekat dan jantung Raka berdegup semakin lantang seiring amarah berkecamuk dalam dirinya. Tiga puluh langkah lagi pemuda itu dapat mengetahui siapa sosok yang membuat Indhira menangis. Menelusuri gang sempit itu, ia mengambil sebuah pipa besi berkarat untuk berjaga-jaga.

Figur di hadapannya, Pedro, membekap mulut Indhira yang suaranya ikut teredam. Secara kemampuan fisik Raka tahu ia akan kalah. Apalagi Raka merupakan seorang perokok aktif yang olahraganya cuma bersepeda. Akan tetapi, harga dirinya akan lebih rendah daripada sampah jika ia tidak bisa melindungi seseorang yang berharga baginya.

Raka menarik baju pria itu, cukup bertenaga hingga takjub sendiri karena bisa membuatnya terjatuh. Cepat-cepat Raka mengambil posisi di antara pria itu dan Indhi, tangannya menggenggam erat pipa besi itu, dan mendesis, "Dia bilang, dia enggak mau, Bangsat."

Kedipan lampu yang nyaris putus menerangi gang itu meskipun tidak seberapa. Pedro si rupawan menatap tajam Raka. Bagai binatang yang memupuk lagi harga dirinya, ia bangkit dengan seringai di bibir. "Siapa kau berani-beraninya mengganggu, hah?"

Raka memasang kuda-kuda defensif, siap mengayunkan pipa itu kala Pedro menerjangnya. Tak peduli bahwa pria di hadapannya lebih tinggi, Raka menengadah, menjawabnya, "Cuma orang numpang lewat. Tadinya aku mau membiarkan kalian bersenang-senang, tapi cewek ini menjerit minta tolong sih."

"Main pahlawan rupanya," pria itu mendekatkan tangannya ke pinggang, menarik sebilah belati yang siap ia pakai untuk menikam. Benar-benar hari yang menguntungkan. Apa tidak ada satu hari saja baginya untuk beristirahat tanpa perlu baku hantam maupun lari-larian?

Menelan ludah, Raka mundur satu langkah. Raka mungkin mengungguli perkelahian ini. Akan tetapi, pria itu sudah terbiasa bermain dengan belatinya, berbeda dengan Raka yang mengambil pipa berkarat sebagaimana tangannya bisa meraih benda itu. Sebagai tambahan, ia tidak bisa kabur dari sana dengan meninggalkan atau membawa Indhi bersamanya. Tak menutup kemungkinan pula bagi Pedro untuk melempar belatinya tepat ke jantung jika Raka berani angkat kaki.

Belum berakhir kecemasan Raka untuk mengantisipasi serangan berakhir, Pedro melesat ke arahnya. Tangan kanan pria itu memegang belati, siap diayunkan untuk menebas Raka yang mungkin sedikit tidak berdaya. Keadaan yang gelap gulita tidak menguntungkannya. Hanya keberuntungan kecil yang membuat Raka bisa menangkis serangan dadakan itu; menciptakan suara logam memantul yang menggaung di sepanjang gang.

Pedro menerjangnya lagi. Mengayunkan pipanya, Raka berharap bisa menjatuhkan pisau lawan. Namun Raka kalah cepat! Langkah mantap yang Pedro ambil, memperkecil jarak di antara mereka. Pria itu mendorong tangan Raka yang menggenggam pipa berkarat; membuat benda itu jatuh berkelontang. Refleks, Raka menjatuhkan diri dan berguling ke depan; untungnya berhasil menghindari tusukan belati pada titik vitalnya.

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now