11th Floor

830 128 68
                                    

GERUNG MESIN motor dua silinder yang Nova naiki menulikan suara di sekitarnya. Ketika turun dari flat, Nova tidak sadar bahwa motor besar yang terparkir tak jauh dari sana milik Luke. Cat hitamnya mengilap dengan aksen merah di bagian tangki. Tak ada noda lumpur maupun debu pada mesin dan bagian lainnya. Terlihat betapa Luke sangat merawat motor besar itu.

Pria itu menyampirkan kotak besar yang ia bawa-bawa ke bahunya dan mengambil helm yang digantung di salah satu kaca spion. Nova memerhatikan gerak-geriknya, bingung mengambil posisi. Pria itu menyalakan mesin kemudian memandang Nova dari balik helm yang menutupi seluruh kepalanya kecuali bagian mata.

"Aku harus naik motor ini?" tanya Nova.

"Jangan pernah sebut dia 'motor'. Dia punya nama: Dolores. Memangnya kau mau naik pagna yang bau itu?" Luke balik bertanya, "Aku sih enggak ya."

Mengerutkan alisnya heran; ia kembali bertanya, "Kenapa kau menamai motornya Dolores?"

"Kau enggak tahu apa-apa tentang romansa seorang pria, Non. Semua yang kau cintai harus mempunyai nama. Termasuk Dolores. Cintai motormu seperti kau mencintai kekasihmu," komentar Luke sambil mengambil helm lain dan melemparnya pada Nova. Refleksnya yang kurang terlatih membuat helmnya jatuh ke jalan, Luke mengerling.

"Naik," suruhnya, "kita tidak punya banyak waktu."

Nova kesulitan duduk; ini baru pertama kalinya ia naik di kursi penumpang sebuah motor. Apalagi dengan kotak besar yang Luke bawa, hampir separuh kursi penumpang penuh olehnya. Setiap Luke mengerem, Nova membentur hidungnya dengan kotak panjang itu. Nova mengaduh, tapi sayangnya pria itu tidak mengindahkannya. Belum lagi Luke menambahkan laju kecepatan Dolores, gadis berambut burgundi itu nyaris terbang karena efek angin yang kencang. Ia menyimpulkan, menjadi penumpang sebuah motor besar bukanlah suatu aktivitas yang harus ia ulang (terutama jika Luke yang mengemudikannya).

Pipinya terasa kering dan dingin selama perjalanan, ia tidak bisa melihat ke mana Luke membawanya. Selama ia di atas motor, Nova memejamkan matanya rapat-rapat sembari memeluk kotak itu. Luke menggerutu karena posisi tangan gadis itu membuat punggungnya terasa aneh. Tapi, Nova tidak peduli; berkali-kali Luke menegurnya, gadis itu tetap butuh pegangan.

Ketika jalan tidak lagi banyak polisi tidur, Nova perlahan membuka mata. Angin yang bertiup membuatnya tidak bisa melihat dengan fokus. Perlahan ia menarik tubuh, memegang helm yang dengan tangan kanan, sementara tangan satunya memegang ujung kotak. Luke membawanya ke jalan layang yang memotong banyak waktu perjalanan. Di bawah langit kelabu, Floor tampak padat dengan gedung-gedung tinggi, sementara dasar di mana gendung itu dibangun tak terlihat. Mungkin karena perkotaan itu dibangun di atas lubang besar atau hal yang lain.

Nova tak bisa menutupi rasa kagumnya. Ini baru kali pertama ia melihat pemandangan Floor dari atas. Tembok pembatas antara Lingkar Dalam dan juga Lingkar Luar memang terlihat, tetapi jalan layang itu dibangun lebih tinggi dari tembok. Nova sendiri tidak tahu betul alasan mengapa tembok pembatas itu dibangun. Jika memang hanya untuk membatasi orang-orang berstatus tinggi dan juga kaum proletar, tembok itu masih berfungsi dengan baik. Meskipun begitu, orang-orang bisa bebas keluar-masuk ke Lingkar Dalam tanpa peduli ia dari distrik mana. Baik dari distrik pasar yang terletak di bagian selatan hingga distrik bisnis di Lingkar Dalam. Yang membedakan mereka hanyalah pakaian yang mereka kenakan.

"Kita ke mana?" tanya Nova cukup lantang setelah sadar mereka telah memasuki Lingkar Dalam.

"Apa?"

"Kita mau ke mana?" ulang Nova, meninggikan suaranya satu oktaf.

"Kau lihat-lihat saja itu pemandangan," balas Luke, "omonganmu enggak terdengar!"

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now