Surface - 5

1.9K 266 82
                                    

NOVA MENGGIGIT bolpen yang ia pakai. Tutupnya sudah bopeng di sana-sini, tidak lagi berbentuk lancip seperti sejam yang lalu dan gadis itu kini kebingungan. Hari menjelang tengah malam, tetapi ia masih belum menemukan jawaban dari pertanyaan yang diberikan Masou pada mereka.

Gadis itu cepat-cepat menulis kembali perkataan Cy tepat setelah mereka keluar melewati pintu raksasa itu. Keriuhan malam di Kota Kembang membuatnya sedikit bingung. Tangannya gemetar ketika menuliskan kata-kata di jurnal yang selalu ia bawa ke mana-mana. Tulisannya tidak sebagus biasanya, tetapi setidaknya masih bisa terbaca. Raka tampak kebingungan dan juga terkejut karena ia menggerutu mengenai pintu yang hilang dan bagaimana hal semua itu bisa terjadi.

Nova sendiri tidak tahu jawabannya. Pintu di belakangnya hanyalah sebuah pintu toko sepatu yang telah tertutup. Gadis itu kemudian mengacungkan jurnalnya tepat di hadapan wajah Raka, memintanya untuk memecahkan teka-teki ini.

Mungkin perkataan Sang raksaka bukanlah sebuah teka-teki. Tetapi kata-katanya terlalu berbelit sehingga gadis itu tidak bisa tidak menganggap perkataannya sebagai omongan biasa. Mereka menaiki kendaraan umum dan memilih untuk duduk berdua di samping supir. Ketika supir itu memutuskan untuk berhenti dan menunggu penumpang yang lewat untuk naik, Nova mengetuk-ngetukkan bolpennya di lembaran buku jurnalnya.

"Besok...," gumam gadis itu. "Kalau kita tidak berhasil menemukan Cyrus besok, kita harus menunggu sebulan lagi untuk bisa ke Floor."

"Tapi kau sendiri 'kan belum sampai sebulan di sini," sanggah Raka, "dan seingatku Cy bilang, 'dengan legal hanya bisa pergi ke sana sebulan sekali.' Pasti ada cara lain; cara ilegalnya."

Ia mengingat orang asing yang membantunya pergi ke Permukaan Atas beberapa hari yang lalu. Tetapi entah mengapa wajahnya tidak terlihat begitu jelas, suaranya pun ia lupa bagaimana. Nova tidak yakin apabila ia bisa menemukan orang itu lagi jika mereka tidak berhasil menemukan Cyrus esok hari.

Raka meminjam jurnalnya, melafalkan kata-kata itu berkali-kali seolah-olah sedang merapalkan mantra. Bulan penuh, cakrawala jingga dengan abu-abu sebagai batasannya. Tiang besi dan puluhan cahaya kuning juga putih.

"Mereka seharusnya memberi tahu waktu dan lokasi 'kan? Jika dia bilang cakrawala jingga, apakah dimaksudkan sebagai waktu senja?"

Terkesan, gadis itu mencondongkan tubuhnya, "Bagaimana dengan 'abu-abu sebagai batasannya'?"

Raka memainkan janggut dengan mulut mengerucut. Pemuda itu duduk di dekat jendela, sementara Nova berada di antara supir dan Raka. Pemuda itu mengulurkan tangannya melewati pundak Nova dan menepuk bahu si pengendara angkutan kota itu.

"Kang," panggilnya, "permisi, tahu tempat di Kota Kembang yang bisa ngeliat matahari terbenam enggak ya?"

"Hah?" supir angkot itu menoleh, menghembuskan asap rokok yang membuat Nova terbatuk, "Sekarang? Sudah gelap, Mas."

"Besoklah, Kang."

"Saya sih enggak tahu. Saya seharian di jalan, mana merhatiin matahari. Tahu-tahu mah adzan weh," dia tersenyum penuh arti. Di ujung matanya tampak keriput-keriput halus ketika ia menambahkan, "Mau pacarana ya?"

Berada di antara mereka membuat Nova kebingungan. Pacaran? Mikir apa orang itu?

Raka menaikkan alisnya dan ia tak bisa menahan senyum, "Enggaklah, Kang!" ucapnya, entah kenapa, dengan nada yang lebih tinggi.

Supir angkot itu tertawa dan meracau perkataan yang gadis itu tak mengerti. Ia menghisap lagi rokoknya dan kali ini menghembuskan asapnya ke luar jendela. Pandangan menerawang sesaat pria itu terpecahkan dan ia kembali menatap Nova dan Raka bergantian. "Biasanya kalau sudah malam suka ada saja yang nongkrong di situ tuh, di atas."

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang