4th Floor

1.2K 202 85
                                    

PEREMPUAN ITU luar biasa jelita. Ia berkulit sawo matang, terlihat begitu manis dan jawani. Rambut hitamnya dipangkas sangat pendek seperti lelaki, tetapi buah dadanya lebih besar daripada perempuan kebanyakan. Ia memandang Raka dengan matanya yang bulat, tampak terkejut, menahan napas.

"Kamu masih ingat aku?" tanya perempuan itu, terdengar ragu. Senyumnya tampak terpaksa seolah-olah tersenyum bukan pilihan yang tepat saat ini. Raka tak yakin perasaan apa yang tengah gadis itu alami.

Seolah dibanting kembali ke realita, pemuda itu menjawab ragu, "Enggak, aku enggak ingat kau siapa. Tapi, kenapa aku tahu namamu?"

Pertanyaan Raka mengubah raut wajah gadis itu menangkup nelangsa. Ia tidak paham dengan hal yang telah terjadi. Kenapa Raka bisa menyebutkan nama Indhira? Kenapa perasaannya tidak keruan seperti ini? Kenapa perempuan itu menahan air mata?

Raka membeku. Ia mengalihkan pandangannya kepada kedua dokter dan juga perempuan asing itu, mencari jawaban. Namun mereka sama bisunya. Dee mematikan kompor dan meletakkan panci beserta piring di atas meja, tak berkata apapun kemudian duduk di salah satu kursi.

"Heh, itu PR ya. Banyak yang harus dijelaskan," dengus Dokter Kei memecah sunyi. Ia melepas jas lab, menyampirkannya di lengan. Pria itu menepuk bahu Indhi yang tampak kaku, menggiringnya ke meja makan, "Kau akhirnya tahu jawabannya 'kan, Dhira? Tidak bisa, dan dia tetap tidak ingat."

Indhira menghela napas, lesu. Saat Indhira membuka jaket dan menyampirkannya pada kursi di seberang Raka, ia dapat melihat lingkaran hitam di tengkuk gadis itu; lingkaran yang sama seperti tubuh-tubuh tak bernyawa di Huva Atma. Raka hendak bertanya, tetapi dentingan piring mengalihkan perhatiannya.

Dokter berambut ikal itu menuangkan secentong kentang tumbuk di piring Raka, berkata serius, "Makan dulu, baru ngobrol."

Raka tak bisa protes, lagi pula ia menjadi tamu di klinik itu. Ia menunggu semua orang di meja makan mendapatkan makanan sebelum menyantap porsinya. Hidangan di hadapannya tidak tampak istimewa. Rasanya hambar, terlalu lembek seolah-olah diberi terlalu banyak air. Meskipun dagingnya masih hangat, tetapi entah kenapa terasa alot. Hanya saos jamut yang membuatnya terasa mendingan. Raka tak ragu mengambil piring kedua meskipun rasanya tidak senikmat itu. Lambungnya menjerit-jerit

"Kau menambah? Memangnya itu enak?" pertanyaan Kei dijawab dengan gelengan kecil Raka. Kei mendesah, mengatakan bahwa ia telah menduganya. "Padahal Indhira sudah menawarkan untuk memasak makan malam, lho, tapi Dee enggak mau. Aku yakin masakan Indhi akan jauh lebih enak. Masakan Dee selalu hambar."

"Diamlah, namanya makanan itu harus tetap dimakan," gerutu Dokter Dee, menyantap makanannya dengan wajah tidak puas, membetulkan posisi kacamatanya yang melorot.

Mungkin karena keberadaannya, ruangan itu terasa canggung. Kedua dokter itu mendebatkan alat dan bahan terbaik untuk membuat makan malam mereka; saling cerca, saling maki, namun di akhir perdebatan mereka berakhir dengan Kei yang tersipu. Sementara itu Indhira tak berbicara sama sekali, wajahnya terus menunduk, bergelut dengan pikiran dan juga hatinya. Terkadang ia tersenyum dengan pembicaraan kedua dokter itu, terkadang ia melirik Raka dan kembali melihat piringnya yang masih penuh.

"Bisa seseorang jelaskan apa yang terjadi?" Raka menahan sendawa, lima belas menit kemudian setelah piringnya kosong.

Kedua dokter itu saling tatap, sementara Indhi memakan porsinya perlahan. Bahkan seperempat porsi makanannya belum habis. Dokter Dee mengisyaratkan Raka untuk berbicara, pemuda itu menenggak air dari gelas di hadapannya dan kecemasannya berlanjut.

"Kenapa aku bisa tahu namanya padahal aku tidak pernah bertemu dengannya?" Raka menuding perempuan itu, terasa sensasi dingin di perutnya, "Suaranya terus terngiang di kepalaku sewaktu terjebak di tempat terkutuk itu!"

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now