1st Floor

1.3K 216 40
                                    

BAHU RAKA terasa sakit. Tak hanya bahu, perutnya pun terasa dua kali lipat lebih sakit. Pukulan pria bermasker gas itu tepat mengenai ulu hatinya. Raka tak habis pikir bagaimana dia bisa memukulnya tepat sasaran padahal ia sudah memasang kuda-kuda pertahanan diri. Untungnya, ia tidak muntah darah.

Ketika pintu besi tertutup, Raka menarik napas panjang. Ia mencoba menenangkan diri dari aliran deras adrenalin di tubuhnya. "Siapa mereka?"

Nova tak segera menjawab. Alih-alih terdengar napas terengah disusul dengan rintihan menahan sakit. Mengambil ponselnya, Raka menyalakan senter mengarahkan ke gadis yang tengah meringkuk, memegangi perutnya, beberapa kali mengerjapkan mata, "Nova, kau enggak apa-apa?"

"Lukaku...terbuka," Nova menunjukkan telapak tangannya yang berwarna gelap.

Mengumpat, Raka berjalan bolak-balik di samping Nova yang meringkuk, tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak pernah tertusuk pisau dan tidak mengantisipasi kejadian ini. Raka hanya bisa berpikir, "Lukamu tidak dalam 'kan? Dokter kemarin bilang lukamu tidak dalam 'kan?"

Nova menggeleng lemah. Cepat-cepat Raka mengedepankan tas ranselnya. Mencari-cari kaos cadangan yang ia bawa, pemuda itu susah payah menyobeknya menjadi perban darurat. Ia berlutut di depan gadis itu kemudian mengambil botol mineral yang masih penuh dan menuangkan sebagian isinya pada sobekan kaos yang tak terpakai.

Berdecak melihat Nova yang hanya mengenakan gaun pendeknya, Raka berkata, "Angkat gaunmu."

"Apa?"

"Aku bukan dokter," ucapnya, "Tetapi, pendarahannya harus dihentikan. Kau mau aku menyingkap rokmu dan dituduh pelecehan seksual atau gimana?"

Tanpa berkata apapun, gadis itu mengangkat gaunnya. Raka memberikan Nova senter untuk membantu menerangi. Celana stoking yang gadis itu kenakan ia tarik sampai pinggang yang mulai ternoda karena darah. Di balik sana pun terlihat pakaian dalamnya yang berwarna hitam. Cahaya yang sekadarnya menunjukkan wajah pucatnya bersemu merah. Menelan ludah, Raka menarik stokingnya ke bawah, membersihkan noda di perut gadis itu. Beberapa jahitannya memang terbuka dan lukanya belum tertutup benar, tetapi sebenarnya darah yang keluar tidak sebanyak yang Raka kira.

Ia meminta Nova untuk menahan napas kemudian membebat perutnya; agak terlalu kencang sehingga gadis itu mengeluh tidak bisa mengambil udara, "Sori," Raka mengendurkan ikatan pada perban.

Raka menarik napas panjang dan terduduk di hadapan Nova. Ia menenggak air minumnya dan memberikan botol itu pada Nova yang telah membenahi gaun. Menerima botol air, gadis itu berterima kasih.

Raka berdiam diri sejenak. Lagipula rentetan kejadian itu terlalu mengejutkan meskipun sebenarnya hal ini membuatnya bersemangat. "Jadi sekarang kita sudah di —apa namanya— Huva Atma? Kita mau menunggu Cy atau pergi duluan?"

"Aku tidak tahu," tatapan gadis itu kosong. Mungkin terlalu syok, entahlah.

Mengingat banyaknya suara yang muncul ketika mereka memasuki pintu besi itu, Raka menduga para satpam telah berdatangan dan akan menangkap mereka. Cy bisa jadi terjebak atau mungkin ditembak. Mengingat kelihaiannya melompat belasan meter dari jembatan layang sepertinya tak perlu mengkhawatirkan Cy. Lagipula Raka bukan tipe orang yang hanya bisa duduk diam tanpa melakukan apapun.

"Kau bisa jalan?"

"Kita tidak akan menunggu Cyrus?" Nova terdengar terkejut.

"Dan enggak melakukan apapun?" Raka balik bertanya, "Yakin kau hanya mau menunggu? Kalau kau lelah, kita bisa berhenti dan memeriksa lukamu dulu. Kupikir Cy pasti bisa menemukan kita."

"Kalau tidak?"

"Pasti ada jalan keluar," Raka merogoh saku celananya dan mengambil sebatang rokok, menyulutnya dan menghisap dalam-dalam. Setidaknya asupan nikotin itu bisa membuat Raka sedikit tenang. Menumpu badannya pada kedua tangan, Raka bertanya, "Kau ingat perkataan Cy tentang peraturan di sini, Nov?"

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang