18th Floor

640 103 28
                                    

for better experience, please turn the video on before you start reading this chapter ※



BAGAI MELODI bertempo tinggi, jantung Raka terus melompat tanpa henti. Telinganya berdengung nyaring, tak teredam. Ia yakin kala pelatuk ditarik, peluru itu telah mengenai tubuhnya. Tubuhnya bergetar hebat dengan kucuran keringat dingin. Kakinya tak lagi bisa bertumpu melawan gravitasi. Pandangan kabur menggelap bagai malam menyelimuti, meninggalkan setitik cahaya yang param sedetik kemudian.

Hanya kegelapan yang bisa matanya tangkap. Kesadarannya entah ada di sisi sebelah mana dunia, tetapi pikirannya kerap berkelana. Kiranya ia berimajinasi ketika sayup terdengar seseorang menyerukan namanya yang kemudian digantikan dengan nyenyat.

Di ambang kesadaran, kegelapan beberapa kali berganti dengan cahaya. Redaman suara yang masuk ke telinga tak tertangkap maknanya. Tubuh Raka terlalu lemah dan lelah; tak hanya karena kekurangan darah, tetapi juga karena keadaan terguncangnya. Untungnya jantungnya masih berdetak. Raka masih hidup. Dia hidup.

Matanya berkedut setelah entah berapa lama terpejam. Napas teratur, selimut tipis dibentang menyentuh tubuhnya yang setengah telanjang dengan perban yang melintang. Jemarinya bergerak perlahan, matanya memandang langit-langit kelam; kosong, tanpa lampu maupun secercah cahaya, dan telinganya hanya menangkap napasnya sendiri. Raka berusaha bangkit di atas kasur yang berderit. Ia sudah kembali ke Haven. Pandangannya berhenti pada jendela yang menghadap ke barat di mana tampak seorang perempuan membaca buku.

Perempuan itu bukan Indhira maupun Nova. Rambut lurus dan panjangnya nyaris sepinggang. Pigmen rambutnya tampak semakin gelap terkena semburat mentari. Hidungnya mancung, tubuhnya ramping, dan dia duduk menyilangkan kaki sambil membaca buku. Dia terlalu larut dalam pikirannya hingga tak menyadari Raka telah terjaga —atau mungkin enggan untuk menatapnya secara langsung.

Ketika pemuda itu berbicara, suaranya terdengar begitu parau. Ia nyaris tak percaya bahwa itu merupakan suaranya sendiri. Raka terbatuk dan pandangan perempuan itu tak beralih dari buku saat berkata, "Ada segelas air di atas nakas," suaranya tak terdengar asing, "minumlah."

"Berapa lama aku tak sadarkan diri?" suara Raka nyaris tak terdengar.

"Sekitar tiga jam."

"Indhira? Bagaimana dengan yang lain?" Raka mengambil gelas dan membuka penutupnya.

"Dia baik-baik saja," dia tidak mengutarakan keadaan rekan yang lain. Lagi-lagi pandangannya tidak beralih ketika menjawab pertanyaan Raka.

"Apa kita pernah bertemu?" tanya Raka setelah meminum air, gelas masih dalam genggaman, memandang perempuan itu dengan alis berkerut. Perban yang membebat dada kanan dan lengan kirinya memerah karena darah.

"Ya," perempuan itu menutup buku, meletakkannya di dekat jendela. Ia berdiri dan menjetikkan jari, lampu kamar mendadak menyala bagaikan keajaiban, "Kita berbicara banyak hal. Kau mengajakku minum bersama beberapa hari yang lalu; sebelum kau berpamitan dan pergi ke dunia yang begitu asing ini. Ingat?"

"Siapa? Cecilia?" Raka benar-benar terkejut ketika perempuan di hadapannya mengangguk. Hanya Cel yang dia ajak bicara sehari sebelum Raka pergi dan teman satu studionya itu sama sekali tidak terlihat seperti perempuan di hadapannya ini, "Kau operasi plastik?" kalimat itu merupakan kata-kata terbaik yang bisa Raka utarakan dalam menanggapi keterkejutannya.

Tawa perempuan yang mengaku sebagai Cecil meledak. "Aku enggak nyangka kalau kau masih bisa bercanda di saat-saat seperti ini," ucapnya di sela-sela tawa. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri kemudian duduk di sisi tempat tidur. Ia menambahkan, "Begini, Raka. Aku Cecil, tetapi juga bukan."

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now