16th Floor

690 99 23
                                    

PELUKAN RAVI menenangkannya. Dalam kesibukannya menjalankan misi, pria itu masih bisa menyempatkan diri untuk bermalam di Marcus's Toe. Mereka berbicara semalaman hingga gadis itu tertidur. Saat paman dan keponakan itu berbicara di ruang istirahat, Luke menunggu tak jauh dari sana, membaca majalah-majalah dewasa di ruangan penuh dengan mesin-mesin besar. Ravi membopong Nova ke kamar Eri; menempatkannya di atas kasur tambahan kemudian mengecup lembut keningnya. Tanpa sadar, ia mencengkram erat lengan pakaian Ravi, dalam tidur meneteskan air mata.

Matanya yang lengket tidak bertahan lama. Jantungnya serasa turun ke perut ketika menyadari bahwa matahari sudah menyilaukan ruangan. Rasa nyaman di atas tempat tidur membuatnya kebingungan setengah mati, melihat tak ada siapapun di kamar itu. Cepat-cepat ia melempar selimut, mengambil langkah lebar untuk membuka pintu.

Ia tidak sudi jika pamannya pergi tanpa berpamitan; tidak mau salah satu kesempatan emas untuk bertanya menghilang sia-sia. Pembicaraan semalam tidak menjelaskan dengan pasti keberadaan Flint maupun Kirana. Petunjuk yang bisa ia berikan pada Nova hanyalah Raktah Sol dan seseorang bernama Hacket.

"Ravi tidak tahu di mana Hacket berada?" tanya Nova semalam, tidak percaya setelah Ravi mengatakan ketidaktahuannya tentang tempat bermukim anggota Raktah Sol. Gadis berambut burgundi itu meremas tangannya di atas lutut, geram menahan rasa kecewa, "Ada berapa banyak nama Hacket yang harus kucari? Ini seperti mencari jarum dalam tumpukkan jerami!"

Pria iu menghela napas berat, cukup kesulitan menanggapi keponakannya yang keras kepala, "Dengar, Nova, aku tidak bisa memberitahumu hal ini. Aku sudah berjanji pada ibumu dan dia ingin kau memiliki hidup yang normal."

"Normal dalam artian tanpa orang tua; ayah ataupun ibu? Normal dalam artian aku menjadi seorang buron? Hidupku jauh dari kata 'normal!'" Ia terlalu lama menahan emosi membuatnya ingin mengeluarkan semuanya selagi bisa, "Semua akan normal jika Mam memberitahu alasannya; bukannya menghilang tanpa jejak seperti angin begini! Aku ingin tahu di mana dia, Ravi."

Bersikukuh, Ravi mengatakan bahwa dia tidak tahu. Hacket bisa tahu keberadaan ibunya, tetapi tidak selamanya apa yang orang itu katakan akan benar, "Kirana memiliki perannya sendiri yang tidak semua orang percaya itu akan terjadi," jelas pamannya, "Dia akan membicarakan hal itu saat waktunya tiba."

"Aku bosan menunggu," gerutunya.

"Yah, siapa yang tidak," Ravi menyilangkan kaki, "Lakukan apa yang bisa kau lakukan, Manis. Jika memang menunggu bukan keahlianmu, kau tahu kau harus melakukan hal yang lain."

Nova kerap menyangkal bahwa pamannya sudah menghilang lagi. Keluar dari kamar dan menghadapi sebuah ruang baca kecil, cepat-cepat ia berjalan menuruni tangga. Marcus duduk di kursi dalam ruang yang penuh dengan mesin besar sementara Keiran tersenyum lebar melihat gadis itu akhirnya terjaga. Tidak mengindahkannya, Nova tergesa-gesa ke ruang istirahat, mendapati Luke yang tengah menuangkan kopi ke dalam cangkir.

Memandang dari sudut mata, pria botak itu berkata, "Ravi di belakang."

Terlihat sosok Ravi yang membelakanginya, berbicara dengan Aidan yang tengah memegang senapan. Ia menghela napas lega, memanggil nama pamannya. Ketika tubuh Ravi berbalik, Nova tak kuasa berlari untuk memeluk pria itu. "Kau tidak pergi sekarang 'kan, Ravi?"

Pria itu menepuk kepala Nova, secara halus melepaskan pelukan keponakannya. Dia bilang akan angkat kaki satu jam dari sekarang. Wajah Nova penuh kerutan, panik dan kesulitan untuk mengungkapkannya dalam oral. Tersenyum kecil, pria itu meminta Aidan untuk memasukkan senapannya kembali ke dalam kotak lalu ia bertanya pada Nova, "Kamu sudah sarapan?"

Mendengar perkataan pamannya membuat Nova mengerutkan alis. Sarapan? Sarapan bukan prioritas utama ia terjaga dari tidur! Ravi merangkul bahu keponakannya yang mungil, membawanya kembali ke ruang istirahat di mana Luke duduk di kursi tinggi di belakang pantri. Mata tajam pria itu mengamati gerak-gerik Ravi dan Nova. Ketika tatapan mereka bertemu, cepat-cepat gadis itu memalingkan wajahnya yang tertekuk.

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang