27th Floor

339 72 14
                                    

SUARA TEMBAKAN itu masih terngiang di telinga Nova. Bergaung, berulang-ulang, dan terus berulang-ulang: pekikan Indhira, wajah Kres yang lebam, tiga orang dengan masker gas yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Setiap kali Nova melangkah, sesulit itu baginya agar tidak melihat ke belakang. Nova tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Satu hal yang pasti: seseorang telah mati.

Siapa? Nova tidak bisa berpikir positif. Tidak terbesit sama sekali bahwa yang tertembak adalah orang Orenda. Di kepalanya, entah Indhira, Kei, atau Dee yang tak selamat. Bahkan ketiganya bisa saja tidak selamat.

Memikirkannya saja membuat tenggorokannya tercekat. Setiap langkahnya terasa semakin berat. Jika Nova berhenti berlari, tubuhnya akan gemetar. Setiap tarikan napas membantu air matanya agar tidak membuncah. Gadis itu tidak mau berhenti berlari. Ia harus fokus agar emosinya bisa terkendali.

Jantungnya berdegup liar, napasnya terengah nyaris habis. Ia tersandung ketika Luke memanggil namanya. Hidungnya terasa sakit ketika ia berhadapan langsung dengan tanah. Tenggorokan Nova terasa terbakar dan matanya begitu panas.

"Kupikir sekarang kita aman," ujarnya cukup jauh dari gadis itu, "Nova?"

Luke berderap mendekat. Nova yang tersungkur tak kunjung bergerak. Sulit untuk meluruskan pikirannya dengan segala macam hal yang membuat isi kepalanya sekeruh air sabun.

Luke memegang pundak Nova dengan lembut, seolah-olah gadis itu barang pecah belah. Membantunya bangun dan mendudukkannya bersandar ke pohon terdekat, pria botak itu berjongkok di sampingnya. Gadis itu tak kunjung mengangkat wajahnya; ia terengah sembari memalingkan wajah.

Kejadian itu kerap berulang, menghantui pikirannya. Desing peluru membuat Nova trauma. Rasa bersalah menjalar dari kepala hingga ujung kaki. Seseorang tewas karena Nova telah kabur; karena ia begitu pengecut untuk melawan. Tubuhnya bergetar, Nova menutup telinga dan memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tidak mendengar namanya dipanggil berkali-kali oleh Luke. Hanya Nova dan kepalanya serta pikiran buruk yang menghantui.

Mengherankan ketika napasnya kembali teratur dan degup jantungnya melambat; kepala dan tubuh Nova terasa lebih hangat dari yang seharusnya. Terasa sebuah sentuhan di punggung Nova dengan gerakan lingkaran yang terus berulang-ulang. Perlahan, ketika gadis itu sudah fokus dengan keadaan, ia mulai mendengar seseorang berbisik di telinganya, mengatakan, 'tidak apa-apa'.

Mendongak, mata Luke memandangi Nova dengan tatapan lembut, tidak seperti biasanya. Pria itu menutup mulutnya rapat-rapat. Tidak ada umpatan maupun kata-kata kasar yang keluar dari bibirnya. Gadis itu tidak bisa lagi menampung rasa sesak di dadanya.


Entah berapa lama waktu yang terbuang ketika ia menangis. Beruntung mereka berada cukup jauh di timur dan sudah hampir mendekati pintu keluar. Pepohonan yang mengelilingi mereka bukan lagi pepohonan berbatang ramping dan tinggi; dedaunannya semakin lebat, batangnya pun semakin lebar. Setidaknya keberadaan mereka akan sedikit sulit untuk diketahui jika ada antek Orenda yang berhasil mengejar mereka.

Menarik napas panjang, Nova mengusap wajahnya yang basah oleh air mata.

"Kau sudah bisa jalan, Non? Kita harus pergi," pria botak itu membantu Nova untuk berdiri. Luke menggenggam lengan Nova cukup lama sampai gadis itu mendapatkan kembali keseimbangannya dan mengangguk lemah. Janggal sekali melihat Luke yang menjadi lebih empatik seperti ini.

Mereka berjalan lebih berhati-hati sekarang; memastikan langkahnya tetap dalam bayang-bayang hutan. Tanpa mengetahui di mana pintu keluarnya, mereka terus berjalan. Mengetahui jika tembok perbatasan tampak semakin tinggi, maka mereka sudah dekat dengan tujuan.

"Salah satu dari mereka pasti tewas," Nova bergumam, tangannya terasa basah oleh keringat.

"Kita enggak tahu itu, Non," Luke meremas tangan gadis itu. Semenjak Nova menangis, pria itu selalu menggandeng tangannya; menuntun Nova berjalan dan memastikan dirinya tetap waras tanpa muncul tanda-tanda serangan panik.

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now