At The Corner Of His Memories

905 184 51
                                    

ORANG-ORANG berlalu-lalang. Raka merogoh saku, mencari kotak rokok yang selalu ia bawa ke mana-mana. Warna marun karpet sama dengan dinding yang menyekat ruang itu, tampak remang dengan warna jingga yang berasal dari lampu. Aroma mentega terasa lengket di tenggorokan ketika mereka melewati konter untuk membeli jagung berondong. Tepat sebelum Raka melangkahkan kaki keluar bioskop, Indhi bergumam bahwa gadis itu baru mengakhiri hubungan serius dengan kekasihnya.

"Lha, kok enggak bilang?" alih-alih menyulut rokok, benda itu malah terjatuh.

"Ini 'kan bilang!"

Hubungan antara Indhi dan pacarnya itu terlihat berlebihan bahkan malah terlalu drama. Sering kali Raka menjadi pelarian karena ia sudah mengenal Indhi begitu lama. Raka kira ucapan Indhira untuk memotong rambut itu cuma bercanda. Namun saat mereka ke bioskop, rambutnya sudah secepak laki-laki.

Ketika seorang gadis memotong rambut, tandanya ia sakit hati. "Tommy brengsek, Ka," ujarnya.

Saat itu mereka masih remaja. Mimpi-mimpi idealis untuk melanjutkan sekolah dan bekerja sesuai di bidang yang mereka minati masih memenuhi kepalanya. Memilih seni rupa untuk gelar strata satu jelas pilihan utama karena mereka tidak senang aritmatika. Tanpa disangka-sangka, Jun pun berniat mengambil jurusan yang sama di kampus yang sama pula. Begitu juga dengan Iyas —sepupu Raka.

Untungnya lagi, mereka semua menjadi satu angkatan di salah suatu kampus bergengsi. Mereka selalu berempat hingga Duta datang melengkapi hari dalam sekolah lanjutan itu. Keseharian mereka dihiasi dengan mencampur cat poster dan tidur di waktu subuh, bolos kuliah pagi, tidur di kelas teori dan kemudian bermalam di kontrakan yang Iyas dan Raka tempati.

Raka tidak pernah sadar akan perasaannya karena Indhi selalu di sana; menemani, ikut memaki, datang, dan pergi. Raka tidak sadar akan perasaannya karena Indhi sering ia kerjai; tak hanya olehnya, tetapi juga oleh Duta dan Jun. Raka tidak sadar akan perasaannya karena Indhi selalu menceritakan semua hal dari yang aneh sampai hal yang terlalu biasa hingga kabar ketika ibunya tak lagi tiada.

Dalam tangis, Raka memeluk gadis itu, membelai rambutnya yang telah dipangkas pendek. Tengkuknya bergetar di bawah telapak tangannya. Di saat-saat seperti itu, rasanya tidak sopan jika mengajak Indhi untuk berkaraoke untuk menghibur diri. Hanya pelukan yang bisa ia berikan selain memberikan sebatang toblerone kuning yang Indhira sukai.

"Kapan kalian jadian?" tanya Jun di kontrakan di akhir semester kedua mereka kuliah.

"Siapa?"

"Kau sama Indhi-lah!"

Raka tidak sadar ternyata kabar burung itu telah menyebar di seluruh angkatan. Mereka telah membicarakan, bahkan memberikan bumbu agar terasa semakin pedas. Jun gemas, mengatakan bahwa ia tidak peka dan sudah saatnya ia memulai duluan. Tetap saja Raka tidak percaya; mengatakan bahwa Jun hanya bercanda.

Mereka berdua dekat, tetapi tidak sedekat itu. Ada tembok tak kasat mata yang membatasi keduanya. Mereka terlalu dekat, hingga tanpa sadar menyulam sebuah tabir yang memberikan ilusi bagi hati. Mereka dekat dan mereka sudah cukup puas dengan hubungan mereka yang sebatas sahabat.

Ketika mentari mulai memancarkan warna lembayung di langit, Raka dan seangkatannya tengah beristirahat dari permainan softball di lapangan kampus. Ia terengah, menyeka keringat dengan ujung lengan kaosnya. Indhi meluruskan kaki, mengulurkan sebotol air minum pada Raka dan dengan senang hati ia terima.

Mereka duduk bersebelahan, saling mengutuki teman yang masih bermain. Indhi tertawa, terkadang ikut mengolok, tetapi tidak bertahan lama. Ia diam, menatap langit senja, terkadang meminum air mineral yang kian menipis. Pertanyaan itu muncul tanpa rencana, membuat Raka nyaris tersedak.

Pertanyaan mengenai dirinya dan juga Indhira, tentang hubungan mereka. Ia menanggapi perempuan itu dengan bercanda, sayangnya sahabatnya mendelik.

"Aku serius."

Raka menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal, balik bertanya, "Terus kau maunya gimana?"

Indhi mengerucutkan bibir, menjawab bahwa dia sendiri tidak tahu. Rasa nyaman di antara dua insan itu tak ingin sirna. Keduanya mungkin takut untuk berbuat apa-apa, akhirnya Raka hanya menepuk kepala Indhi, memijat ubun-ubunnya sembari berkata, "Buatku, kayak begini sudah cukup kok. Lagipula kalau kau butuh sesuatu 'kan tinggal bilang, ya?"

"Yaah...," Indhi mendengus dan terkekeh. "Enggak salah juga sih."

"Jadi, kita aman 'kan?"

"Yeah."

Perlakuan di antara keduanya tidak berubah. Mereka masih sering bermain bersama, mengobrol dan bercerita dari A sampai Z. Hanya saja intensitas mereka mengobrol kian berkurang dan Raka —tentu saja— tidak menyadari hal itu. Ia pikir Indhi sibuk akan urusan pribadinya. Raka pun menganggap jawabannya cukup masuk akal namun nyatanya itu tidak cukup. Ia melupakan perempuan yang ia sayangi dan ia tidak tahu bahwa Indhi telah hilang dari hidupnya.

*

//Ah asmara. Malam Sabtu begadang hem yaya. Minggu ini chapter bonus karena aku utang ke kamu. Meskipun bonus, tapi tetep serius, yes? Takkan bosan kuucapkan terimakasih untuk kamu yang telah meninggalkan jejaknya dalam bentuk apapun. Oiya akan ada kejutan (?) menariq jika Floor sudah sampai 10k reads! Spoiler: inisialnya 'G' hihi. Sampai jumpa di lain waktu!//

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now