26th Floor

345 71 19
                                    

LOLONGAN ANTEK ORENDA semakin nyaring. Nama yang telah terucap tak menghentikan apa yang Dokter sinting itu harus selesaikan, mengabaikan lolongan pilunya. Bau besi menyeruak. Di atas nampan alumunium, cairan merah menggenang dan tampak dua bagian tubuh yang sudah tak lagi menyambung dengan tangannya.

Mengalihkan pandangan, mimik wajah Dee mendadak lebih serius dibanding biasanya. Di balik kacamata yang ia kenakan, mata tajam Dee biasa memandang orang-orang tanpa alis yang menekuk. Akan tetapi, kini alisnya bertekuk tajam, begitu pula dan bibirnya yang terkatup rapat, menunjukkan rahangnya yang mengeras.

Pria itu menarik napas panjang, memijat pangkal hidungnya sembari memejamkan mata. Reaksinya bagaikan orang tua yang sudah terlalu lelah melihat kelakuan anaknya yang terlalu nakal. Mengabaikan antek Orenda yang masih meringis menahan sakit, Kei membalikkan tubuhnya menghadap Raka dan Dee; membuka sarung tangan lateksnya yang berubah merah karena darah.

"Tidak begitu mengherankan 'kan, Dee?" Kei mengecap bercak darah yang tertinggal di lengannya, "Mukamu enggak perlu menekuk seperti itu."

Alih-alih menjawab, Dee hanya mendengus.

"Siapa Leprechaun?" tanya Raka. Nama itu begitu asing di telinga dan juga lidahnya.

"Seseorang yang sebaiknya enggak kau kenal," jawab Kei mengambil botol-botol yang Raka tidak ketahui isinya dari dalam kabinet, "bahkan kau berharap untuk tidak pernah tau nama itu."

"Dia broker," timpal Dee, mengabaikan si antek Orenda, "dan dia tahu semua hal yang terjadi di Floor. Bahkan dia bisa tahu apa yang kau makan satu jam terakhir."

"Konyol; itu tidak mungkin," Raka terdengar skeptis, alisnya berkerut, "Bahkan di sini? Termasuk aku? Kukira kalian ini sedang bersembunyi."

"Tergantung," Kei mengambil tabung reaksi dan mengarahkannya di bawah lampu. Cairan berwarna ungu itu tampak bening dan berkilau. Pria itu melirik si antek Orenda yang kerap meringis, "Tergantung apakah dia bisa keluar dari sini atau tidak."

Si antek Orenda mendelik. Wajahnya semakin memucat, menunjukkan urat-urat kebiruan di balik kulitnya. Di tengah ringisan menahan sakit, pria itu mendesis, "Leprechaun tahu. Dia selalu tahu. Dan dia akan tahu akan tempat ini. Aku akan keluar dari sini!"

Kei memandang orang itu bagaikan seekor serangga. Di satu sisi Raka bersyukur bukan dia yang diikat di kursi itu. Menyedot cairan itu dari jarum suntik, seringai kecil terulas di wajah Kei. Sekali lagi ia mengarahkan suntikan itu di bawah lampu, menunjukkan kemilau keunguan yang indah.

"Kau yakin?" suaranya terdengar lebih dingin dibanding sebelumnya. Setelah nama Leprechaun keluar dari mulut si sandera, tingkah laku Kei tidak lagi seperti orang gila yang hanya ingin membuka isi kepala seseorang. Pria itu terdengar lebih waspada, berhati-hati; seolah-olah seluruh tindak tanduknya bisa menempatkan dirinya dalam bahaya.

"Kau mau apa?" hardik pria yang sama sekali Raka tidak ketahui namanya. Pupilnya mengecil; tubuhnya mengejang dengan keringat dingin yang membasahi kemeja yang ia kenakan. Kursi yang ia duduki bergoyang; nyaris jatuh jika saja Kei tidak menahannya.

Jarum suntik Kei arahkan pada lengan atas pria asing itu. Dia menghentak-hentakkan tubuhnya, enggan cairan ungu yang ada di dalam barel itu untuk masuk ke dalam tubuhnya.

"Kau sebut dirimu dokter?!" suaranya meninggi, terdengar bergetar.

Seruannya menghentikan gerakan Kei, mengarahkan jarumnya ke luar. Pria berambut perak itu mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, menyeringai lebar hingga taring kecilnya tampak. Dingin bagai mata pisau terasah, desisannya menusuk hingga tulang belakang.

"Memangnya itu penting? Bukannya kau bilang akan keluar dari sini? Apa yang akan kau lakukan? Memberitahu dunia? Kakimu tidak akan pernah sampai hingga pintu keluar, tahu."

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang