Antarkasma - 4

541 87 28
                                    

APAKAH TIGA HARI waktu yang cukup? Mengingat Raka datang ke Antarkasma kala petang, ia tidak tahu sudah berapa lama waktu telah berlalu. Sabuk beserta belati pemberian Celene ia ikatkan di pinggang. Beberapa kali ia menarik belatinya dari sana dan memasang kuda-kuda hingga ia lelah sendiri.

Kerongkongannya kering, perutnya kosong. Mana Raka tahu ia akan menghabiskan waktunya berjam-jam di antah berantah seperti ini? Tiga hari tanpa makan dia masih bisa hidup, tapi tanpa minum? Yang benar saja. Setiap ia mengambil jalan ke sebuah tikungan, hanya lorong kosong yang menyambutnya. Tak ada tanaman, tak ada cahaya bintang apalagi mentari. Gelap gulita.

Apa kata-kata yang Celene ucapkan sebelumnya? Pintu-pintu yang saling menghubungkan, warna-warna yang saling menjelaskan, pikiran membentuk jalan, dan yang terpenting adalah kekuatan pikiran? Raka masih tidak mengerti maksud kalimat itu. Mungkin itu kode yang harus dipecahkan, tetapi bisa juga hanya omong kosong belaka.

Sekali lagi ia menarik belati dari sarungnya dan merasakan dinginnya besi di permukaan tangan. Dia bukan seorang penempa besi, tapi ia tahu belati yang Celene berikan berkualitas bagus: berat serta mempunyai genggaman yang ajeg pada gagangnya. Terbesit di kepalanya jumlah orang yang mati tertikam dengan benda ini. Sangat memungkinkan, mengingat segala macam hal yang terjadi di Haven tadi.

Tampak sebuah pintu dengan jarak sekitar lima belas langkah dari tempatnya berdiri. Pintu pertama yang ia lihat setelah sekian lama: berbentuk melingkar di bagian ujung dengan tinggi normal. Ia tidak tahu apakah ini sebuah pertanda baik atau buruk. Tak mungkin ia melewati keberadaan pintu ini 'kan?

Raka menyalakan senter dari ponselnya, mengarah pada pintu. Terbuat dari jati, pintu itu dipelitur merah gelap, masih meninggalkan guratan serat kayu. Tak ada simbol, tidak ada angka, tidak ada pula gambar yang bisa mengindikasikan sesuatu di sana —terlalu polos untuk disebut penting. Keganjalan tampak pada bagian selotnya yang menyangga dari luar, seolah-olah ada seseorang yang sengaja mengunci siapapun di dalam sana, tak menginginkan mereka kembali lagi.

Raka tidak berpikir panjang. Pemuda itu mendorong selotnya ke sisi lain, membuka sebuah celah dari daun pintu. Kegelapan menyambutnya lagi dan di detik yang sama tahu ia telah membuat kesalahan.

Dingin menjalar di punggungnya, bulu kuduk meremang, dan pupil Raka mengecil karena kengerian. Puluhan mata berpendar kuning dan merah serta pupil besarnya menatap Raka menembus relung jiwa. Mata-mata itu, tanpa berkedip, menatap Raka siap menelannya bulat-bulat dalam sekejap.

Jatuhlah ia, terkejut akan pemandangan di hadapannya. Hanya umpatan yang keluar dari bibir, tak peduli berapa kali kata itu telah keluar dari mulutnya. Tumpuan tangannya terasa ngilu, belum lagi dengan lukanya yang belum sembuh total. Angin yang berembus begitu kencang membuat pemuda itu kalut, menyeret tubuh hingga sisi tembok satunya, tak memberikan perbedaan jarak yang signifikan.

Tidak hanya berlari, ia bahkan sulit bangkit dari posisinya. Meski ingin, Raka tidak bisa kabur. Sesosok makhluk muncul dari balik pintu: bertanduk, menjalar, bersisik; berbayang hitam, bertaring, bercakar tajam. Mata merah dan kuning mereka berputar, pupil mereka yang lebar mencari-cari sesuatu. Beberapa langkah kakinya berat, beberapa terdengar bagaikan tumbukan lesung padi. Raka memejamkan matanya ketika terasa sesuatu menjalar di bagian punggung. Lengkingan suara seperti laba-laba terdengar hingga telinga, menjalar dari tubuh bagian belakang hingga ubun-ubun.

Enggan melihat; enggan mengintip, Raka menarik jaketnya menutupi wajah. Ia menunggu hingga makhluk-makhluk itu tak lagi berada di dekatnya. Mengumpat satu-satunya cara untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Degupan jantung yang terlalu kencang, keringat dingin, napas yang terengah... pemuda itu tak habis pikir dengan segala kejadian sinting yang tak ada hentinya ini.

Down There Is What You Called Floor [END]Where stories live. Discover now